Kali ini mau compare sedikit antara lensa TTArtisan 50mm F2 yang baru datang kemarin vs Lensa kit Fujifilm XC 16-55mm bawaan kamera. Ini bukan perbandingan yang penuh scientific dan perhitungan yang gimana-gimana, beneran jepret objek yang sama dengan setting yang sama. Perbedaannya hanya untuk TTArtisan saya menggunakan manual fokus sedangkan Lensa kit saya pakai fitur…
Kali ini mau compare sedikit antara lensa TTArtisan 50mm F2 yang baru datang kemarin vs Lensa kit Fujifilm XC 16-55mm bawaan kamera.
Ini bukan perbandingan yang penuh scientific dan perhitungan yang gimana-gimana, beneran jepret objek yang sama dengan setting yang sama. Perbedaannya hanya untuk TTArtisan saya menggunakan manual fokus sedangkan Lensa kit saya pakai fitur autofocus nya, sedangkan settingan exposure triangle, film simulation dan lainnya sama.
Semua gambar disusun yang kiri adalah TTArtisan 50mm dengan aperture 5.6 sedangkan yang kanan adalah lensa kit Fujifilm XC menggunakan focal length 50mm dan aperture 5.6.
Klik untuk perbesar gambar.
Jujurnya agak susah lihat perbedaanya, atau memang mata saya saja yang belum mahir membedakan.
Adapun sedikit perbedaan yang saya rasa lensa kit Fujifilm XC lebih banyak area yang kena fokus dan tajam, dibanding TTArtisan ada sedikit yang agak blur dan kurang tajam, tapi menurut saya mungkin karena ya manual fokus nya kurang pas. (iya gak sih?)
Tapi untuk warna, rasanya gak banyak berbeda. Padahal kalau kata orang-orang warna dari TTArtisan sedikit berbeda (berbeda kearah kurang bagus), tapi dari yang saya lihat kurang lebih saja.
Catatan lain saya menggunakan aperture 5.6 karena untuk lensa kit Fujifilm yang saya punya, maksimal ada di 5.6 kalau menggunakan 50mm, jadi supaya fair saya menggunakan angka aperture yang sama untuk TTArtisan, padahal TTArtisan bisa lebih besar sampai di aperture 2 yang mana bisa membuat gambar lebih terang dan bokeh.
Akhirnya, kesampaian juga beli lensa ini, TTArtisan 50mm F2, lensa yang menurut saya kecil atau istilahnya “pancake lens”, asumsi saya akan lebih mudah digunakan di keramaian, karena gak tapi mencolok, tapi ternyata gak kecil-kecil amat :). Lensa ini bisa dibilang juga kategori murah banget, lensa entry level lah. Dengan fisik dan apalagi harga yang murah,…
Akhirnya, kesampaian juga beli lensa ini, TTArtisan 50mm F2, lensa yang menurut saya kecil atau istilahnya “pancake lens”, asumsi saya akan lebih mudah digunakan di keramaian, karena gak tapi mencolok, tapi ternyata gak kecil-kecil amat :).
Perbandingan ukuran lensa kit Fuji XC 16-50mm (kiri) dengan lensa TTArtisan (kanan), lebih kecil, tapi ternyata gak kecil-kecil amat.
Lensa ini bisa dibilang juga kategori murah banget, lensa entry level lah. Dengan fisik dan apalagi harga yang murah, lensa ini jelas adalah lensa manual fokus.
Dua alasan tersebut, ukuran kecil dan harga murah, menjadi alasan utama saya memilih lensa ini. Saya masih belum merasa butuh ngeluarkan uang terlalu banyak untuk perangkat kamera dan lensa, masih merasa sebagai hobi tersier, jadi kalau bisa yang murah maka ya yang murah saja đ
Lensa ini juga menggunakan focal length 50mm di APSC yang artinya equivalent sekitar 75-80mm untuk kamera fullframe yang mana itu masuk kategori tele yang mana jarang banget penggunanya, kecuali untuk keperluan foto portrait atau make up yang perlu fokus ke wajah saja.
Untuk yang suka foto dokumentasi kegiatan misalnya, atau pengen foto moment, biasanya lebih suka yang lebih lebar sekitar 25-35mm karena bisa nangkap objek lebih banyak.
Saya juga sebenarnya lebih suka sekitaran itu, 35mm mungkin sweet spot saya, tapi ada beberapa hal yang jadi pertimbangan saya sehingga memilih 50mm:
Saya belum pede foto jarak dekat đ jadi biasanya ngambil foto dari jarak jauh, jadi lensa 50mm cocok karena saya tetap bisa mengambil momen atau cerita dari jarak agak lebih jauh.
Karena lebih jauh, biasanya objek yang difoto jadi gak aware, jadi lebih sering dapet momen candid.
Saya masih susah mengatur komposisi, jadi dengan lensa lebar seringnya saya bakal nge-crop foto, padahal kamera ini resolusinya kecil, kalau di crop maka makin habis lah.
Lensa lebih lebar fotonya cenderung jadi ‘biasa’ saja karena biasanya kamera handphone juga menggunakan focal length lebar, jadi sudah terlalu sering melihat hasilnya.
Sepertinya bakal memberi saya pandangan berbeda dalam mengambil foto, bisa dapat foto yang lebih detail dan unik.
Dengan alasan tersebut, saya merasa lebih cocok untuk memilih 50mm. Walaupun begitu, sepertinya lensa kit bawaan kamera akan tetap dibawa terutama kalau ada kegiatan karena lensa bawaan lebih fleksibel, bisa bukaan lebar dari 16mm sampai 50mm. Jadi kalau situasi susah pakai 50mm, maka ya diganti saja.
Oh setelah membuka dan mencoba sekilas, ada beberapa kesan pertama yang saya rasakan
Seperti kebanyakan YouTuber, waktu pegang pertama kerasa banget build quality nya bagus! full besi dan solid, tapi…
BERAT! ya saya gak tau sih berapa berat lensa kit bawaan yang saya pakai sebelumnya, tapi yang ini kerasa berat, lebih berat daripada kameranya, setelah beberapa foto kerasa di tangan pegelnya, saya gak biasa aja ini. Ini resiko dari build quality full besi solid tadi.
Saya juga gak sadar, ternyata lensa kit bawaan kamera saya itu ada image stabilization, saya baru sadar setelah menggunakan lensa TTArtisan ini rasanya kamera gak bisa diem, gerak mulu, agak susah fokus.
Ngomongin fokus, lensa ini manual fokus, jadi ya agak tantangan dalam menggunakannya, gak bisa main jepret seperti auto fokus, tapi:
Autofokus kamera saya lambat juga, Fuji memang agak terbelakang bagian autofokus, sudah gitu ini kamera XA series, versi lama pula, jadi autofokus memang lambat dan gak tepat juga.
Setelah nonton dan nyobain zone focusing, rasanya manual fokus gak susah-susah amat, tapi ya saya belum pernah pakai di lapangan sih.
Seperti komplain kebanyakan reviewer, tutup lensa nya gak enak, sistem ulir, saya pikir mereka lebai, tapi beneran deh, ulirnya gak enak, harus ngepasin.
Saya belum sempat testing banyak foto, cuma tadi ngetest manual fokus dan ngetest hasilnya gimana, yang mana menurut saya oke aja sih.
Nantilah akan saya coba compare lensa ini dengan lensa kit bawaan, bagaimana perbedaanya.
Contoh hasil foto menggunakan lensa TTArtisan 50mm
Catatan buat diri sendiri: Menurut saya, jam kerja itu Zero-sum game. Untuk jenis pekerjaan yang bisa dikerjakan dimana saja dan kapan saja, seperti programming, saya bisa lebih fleksibel kapan saya bekerja, tapi sebenarnya secara jumlah apalagi output, jam kerjanya akan kurang lebih sama. Contohnya, saya mengerjakan pekerjaan lain di malam hari, atau di akhir pekan,…
Catatan buat diri sendiri:
Menurut saya, jam kerja itu Zero-sum game. Untuk jenis pekerjaan yang bisa dikerjakan dimana saja dan kapan saja, seperti programming, saya bisa lebih fleksibel kapan saya bekerja, tapi sebenarnya secara jumlah apalagi output, jam kerjanya akan kurang lebih sama.
Contohnya, saya mengerjakan pekerjaan lain di malam hari, atau di akhir pekan, atau malam hari di akhir pekan, kelihatanya itu adalah jam kerja extra, padahal besoknya bakal teler, jenuh, dan perlu istirahat.
Jadi sama aja, gak merubah atau menambah jadi lebih produktif.
Oleh karena itu, mending kalau kerja beneran kerja, dan istirahat beneran istirahat, percuma dikejar.
Enshittification, also known as crapification and platform decay, is a pattern in which online products and services decline in quality. Initially, vendors create high-quality offerings to attract users, then they degrade those offerings to better serve business customers, and finally degrade their services to users and business customers to maximize profits for shareholders. Wikipedia Belakangan ini makin sering liat kata…
Enshittification, also known as crapification and platform decay, is a pattern in which online products and services decline in quality. Initially, vendors create high-quality offerings to attract users, then they degrade those offerings to better serve business customers, and finally degrade their services to users and business customers to maximize profits for shareholders.
Belakangan ini makin sering liat kata ini dipakai dimana-mana, terutama ranah teknologi dan terutama lagi kalau lagi bahas platform online dan sosial media.
Sederhananya, Enshittification adalah istilah yang diberikan untuk suatu produk, umumnya produk platform digital, yang mana tadinya bagus, memanjakan pengguna, kemudian setelah banyak penggunanya visi produk berubah dan lebih fokus dalam mencari profit karena merasa sudah punya banyak pengguna, yang mana fokus baru ini kadang bikin kesal pengguna dan malah pergi.
Contoh nyata ya Twitter, yang tadinya populer banget dan jadi pop culture, sekarang jadi tempat toxic gak jelas, penggunanya juga pada beralih ke sosial media lain, yang mana padahal media baru tersebut bisa jadi mengalami enshittification juga nantinya.
Saya beneran iseng, ada cemilan jadi sebelum tidur iseng buka Netflix dan ketemu ini, A Man on the Inside. Saya inget banget ini tokoh utamanya, Ted Danson, doi yang juga jadi tokoh utama di Good Place, yang mana saya suka juga, dan selain tokoh utama, ternyata serial ini juga diubat oleh orang yang sama yang…
Saya beneran iseng, ada cemilan jadi sebelum tidur iseng buka Netflix dan ketemu ini, A Man on the Inside.
Saya inget banget ini tokoh utamanya, Ted Danson, doi yang juga jadi tokoh utama di Good Place, yang mana saya suka juga, dan selain tokoh utama, ternyata serial ini juga diubat oleh orang yang sama yang membuat Good Place, Mike Schur, jadi makin penasaran, dan bener, saya menikmati serial ini.
Bingewatching,gak terasa 8 episode ditonton langsung dalam sekali hadap haha đ
Tentu saja komedi, dan bagian relasi ortu dan anak yang ya fascinating.
Tapi setiap ngeliat “Charles” ini saya selalu kebayang Michael di Good Place, ha. Saya merasa ini seperti kehidupan Michael sebelum jadi ‘malaikat’ di Good Place :D, tipe aktor yang apapun series nya karakternya kurang lebih sama.
Terus dibagian ending ada “Janet” pula, memang lah mereka ni.