• Linux Mint 22 “Wilma”

    Okay, Linux Mint 22 baru saja rilis secara resmi. Full release note bisa dilihat disni https://blog.linuxmint.com/?p=4731. Sebenarnya dari beberapa waktu lalu pengen nulis tentang Linux Mint (atau kita singkat aja jadi Mint), tapi gak pernah terlaksana. Jadi sejak beberapa waktu lalu, mungkin 1 tahun lalu, saya menggunakan Mint di PC saya. Sebelumnya menggunakan Ubuntu, tapi…

    Okay, Linux Mint 22 baru saja rilis secara resmi. Full release note bisa dilihat disni https://blog.linuxmint.com/?p=4731.

    Sebenarnya dari beberapa waktu lalu pengen nulis tentang Linux Mint (atau kita singkat aja jadi Mint), tapi gak pernah terlaksana.

    Jadi sejak beberapa waktu lalu, mungkin 1 tahun lalu, saya menggunakan Mint di PC saya. Sebelumnya menggunakan Ubuntu, tapi versi LTS terakhirnya bikin kacau, saya lupa, tapi rasanya karena Snap, software manager dari Ubuntu ngaco, suka stuck sendiri. Heran deh, sudah official sejak lama, masih aja gak stabil.

    Sekitar sebulan lalu, saya nyobain lagi distro lain, seperti Fedora, Debian, Ubuntu lagi, nyobain beberapa Desktop Environment (Awesome WM, KDE), tapi gak cocok, selalu ada yang ganggu, ada masalah. So balik lagi menggunakan Mint lagi.

    Untuk yang gak familiar, Linux Mint dibuat dengan prinsip stabilitas, pokoknya bisa diinstall dengan mudah, dan gak ada masalah, ya udah stabil aja, dan memang bener, selama penggunaan saya gak pernah ketemu masalah, It just works!.

    Tapi ada downside nya, update nya agak lama, kadang lama banget, termasuk aplikasi yang tersedia di Software managernya, kadang tertinggal jauh dari rilis resmi aplikasinya sendiri. Soalnya ya itu tadi, lebih prefer stabilitasnya, jadi daripada selalu update tapi banyak masalah atau belum matang, Linux Mint memilih untuk pending dan tetap di area yang lancar saja.

    Oke, karena versi baru nya baru saja keluar, rasanya gatal untuk upgrade segera, tapi sepertinya bakal ditunda dulu, karena (1) belum keluar panduan dan tool resmi untuk upgrade (2) lagi sibuk banget, gak sempet kalau mau install ulang. Ya itung-itung biar lebih stabil.

  • Threads

    Secara random, ketika saya membuka sebuah artikel dan dapet link ke Threads dan ngeliat sekilas, saya suka sama UI nya, tampilannya fokus ditengah screen, gak banyak printilan aneh-aneh, ya pas gitu aja. Kebetulan saya juga pengen update tampilan blog ini, jadi saya coba untuk meniru, ya meniru tampilan ala Threads. Tadinya mau bikin theme WordPress…

    Secara random, ketika saya membuka sebuah artikel dan dapet link ke Threads dan ngeliat sekilas, saya suka sama UI nya, tampilannya fokus ditengah screen, gak banyak printilan aneh-aneh, ya pas gitu aja.

    Kebetulan saya juga pengen update tampilan blog ini, jadi saya coba untuk meniru, ya meniru tampilan ala Threads.

    Tadinya mau bikin theme WordPress sendiri, karena ya saya punya beberapa kebingungan dalam penggunaan site editor WordPress. Tapi kemarin iseng aja, coba untuk bikin tampilan ala Threads menggunakan default theme Twenty Twenty Four, terus pakai site editor nya buat ubah sana-sini.

    Hasilnya.. ya bisa dibilang mirip, iya gak sih? saya sih suka aja. Cuma memang belum semua halaman diupdate.

    Jadi sama sekali gak koding, beneran pakai site dan block editor di default theme plus beberapa jam untuk ngulik-ngulik site editornya.

  • WordPress Hosting

    So saya kemarin mencoba untuk beralih dari self-host WordPress ke WordPress.com, iya, official WordPress provider, karena ya biar gak ribet deh dan langsung ke provider resmi maksudnya ya sekalian support, dan juga saya tertarik dengan WordPress Discover, supaya postingan di blog ini bisa masuk ke dunia WordPress users. Pertama, saya lumayan kaget karena harganya cukup…

    So saya kemarin mencoba untuk beralih dari self-host WordPress ke WordPress.com, iya, official WordPress provider, karena ya biar gak ribet deh dan langsung ke provider resmi maksudnya ya sekalian support, dan juga saya tertarik dengan WordPress Discover, supaya postingan di blog ini bisa masuk ke dunia WordPress users.

    Pertama, saya lumayan kaget karena harganya cukup mahal untuk bulanan, lebih murah ya bayar setahun langsung, atau 3 tahun sekalian. Tapi saya sudah coba compare dengan beberapa provider lokal lain, sebenarnya harganya bisa dibilang kurang lebih saja, jadi ya prefer yang official saja.

    Kedua, saya akhirnya coba deh pakai paket yang Starter, alias paling murah. Saya kaget banget karena banyak banget batasan fiturnya!. Jangankan custom plugin, plugin resmi pun juga gak bisa install. Tapi ya sudah, toh saya gak banyak pakai plugin, jadi apa yang ada pun cukup.

    Ketiga, masih dibatasan penggunaan, kali ini dari sisi kustomisasi, ya ampun, mau ganti background full site saja gak bisa, mesti upgrade plan! terus kalau di Site Editor WordPress ada istilah “Pattern” dimana merupakan Block yang bisa dipakai berulang, ini juga gak bisa! custom CSS? gak bisa juga :(.

    Keempat, permalink juga gak bisa, dan berhubung permalink di blog asli saya ini sedikit berbeda (saya juga lupa kenapa saya buat demikian), di paket Starter gak bisa diubah, hasilnya ketika saya import media dari blog ini ke wordpress.com, file nya ke load tapi gak bisa terbuka dan gak tampil di post, walhasil saya mesti ngedit semua post yang ada gambarnya!

    Kelima, Jetpack gagal konek, gak ngerti kenapa, ini harusnya plug and play, tapi error, dan dokumentasi yang diberikan screenshot nya berbeda dengan kenyataan, so gak bisa troubleshoot sendiri.

    Keenam, lihat aja sendiri:

    Apaan itu!

    Ketujuh, dashboardnya bikin bingung, karena ada dashboard dari wordpress.com ada juga yang dari wp-admin, halaman setting dan pengaturan loncat kesana kemari antar dua dashboard itu.

    Kedelapan, saya tau ada di plan paling murah, tapi gak asik aja setiap buka menu tertentu yang sudah ada disitu, terus muncul nya “upgrade untuk akses halaman ini”, ngeselin!

    Kesembilan, custom domain juga sama, di dashboard sering lompat antara domain default dan custom domain, dan saya gak ngerti lagi yang mana yg bener.

    Kesepuluh, untungnya gampang refund, walaupun mesti kontak support dulu karena lagi-lagi, screenshot di dokumentasi berbeda dengan kenyataan. Kontak support baru tiba-tiba halaman berhenti langganan jadi mirip.

    Intinya saya menyerah, minta refund, dan prefer hosting sendiri saja deh. atau kalau gak ya pakai WordPress hosting provider dari Indonesia, tapi ya gitu harganya kurleb, baru kerasa murah kalau bayar untuk langsung periode panjang (2-3 tahun).

    Padahal dari dulu kepengen banget pakai yang official biar ya lebih legit aja sebagai “pengguna WordPress”.

  • Remote Working

    Salah satu yang berat dari bekerja secara remote adalah urgensi untuk bekerja lebih keras. Rekan kerja tidak melihat secara langsung bagaimana kamu bekerja, jadi beberapa akan menganggap kamu gak ikut berkontribusi dan bekerja. Oleh karena itu untuk membuktikan ‘kehadiran’ mu, perlu bekerja lebih keras, menyelesaikan task lebih cepat dan banyak, dan memberikan kontribusi yang beneran…

    Salah satu yang berat dari bekerja secara remote adalah urgensi untuk bekerja lebih keras. Rekan kerja tidak melihat secara langsung bagaimana kamu bekerja, jadi beberapa akan menganggap kamu gak ikut berkontribusi dan bekerja.

    Oleh karena itu untuk membuktikan ‘kehadiran’ mu, perlu bekerja lebih keras, menyelesaikan task lebih cepat dan banyak, dan memberikan kontribusi yang beneran kerasa bahwa ya kamu ada disitu.

    So itu bukan sesuatu yang mudah dan menyenangkan, walaupun begitu, saya lebih prefer menghabiskan waktu untuk menyelesaikan task saya dibanding menggunakan waktu tersebut untuk macet-macet di jalan.