• 6 bulan full-time freelancing, ini yang saya rasakan

    Melanjutkan post saya sebelumnya, tanggal 1 maret 2016 kemarin saya mulai full time freelancing. Sebenarnya statusnya sih masih belum full, karena masih sebagai karyawan tapi memang sudah masa-masa resign, sampai 10 hari kemudian beneran resign. Sebelum-sebelumnya saya juga sudah mulai freelancing, tapi lebih sekedar side-job, dan setelah kemarin resign, saya memutuskan gak nyari kerjaan resmi dulu,…

    Melanjutkan post saya sebelumnya, tanggal 1 maret 2016 kemarin saya mulai full time freelancing. Sebenarnya statusnya sih masih belum full, karena masih sebagai karyawan tapi memang sudah masa-masa resign, sampai 10 hari kemudian beneran resign. Sebelum-sebelumnya saya juga sudah mulai freelancing, tapi lebih sekedar side-job, dan setelah kemarin resign, saya memutuskan gak nyari kerjaan resmi dulu, mau merasakan kehidupan full-time freelancer.

    Dalam 6 bulan ini, ada banyak hal dan kejadian yang baru kerasa dan terjadi setelah merasakan langsung full-time freelancing, Beberapa menarik dan positif, namun tentunya gak semua hal bisa nyaman sesuai maunya kita.

    Baca juga:

    Mesti nyari projek sendiri

    Ini tentunya yang paling kerasa di awal, karena sesuai pengalaman saya di kantor sebelum-sebelumnya, biasanya kerjaan datang dari PM atau pak bos langsung di kantor, kali ini saya mesti nyari sendiri. Upwork masih jadi jalan terakhir buat nyari projek, saya bersyukur gak pernah sampai kehabisan atau sampai menggunakan 50% quota jatah bid kerjaan untuk dapet projek. Sisi gak enaknya, beberapa waktu lalu upwork merubah sistem fee nya, yang kerasa banget efeknya buat freelancer yang baru mulai di upwork. Untungnya sebagian besar client di upwork biasanya setelah selesai projek atau bahkan berbulan-bulan setelah projek, bakal menawarkan untuk lanjut ke projek lain, yang kadang terjadi di luar upwork.

    Selain dari upwork, saya bersyukur masih ada beberapa temen yang me-referensi kan saya untuk mengambil beberapa projek untuk dikerjakan. Saya juga sempet tergabung dalam beberapa startup, yang dari sisi ekonomis nya, saya bisa dapet stabil income.

    Lebih fleksibel mengatur waktu

    Fleksibel ini bagai 2 sisi pedang, bisa jadi untung, bisa jadi buntung πŸ˜€

    Pertama, yang positif nya dulu, Saya lebih enak mengatur waktu misal ada keperluan lain di luar, atau memang lagi pengen jalan-jalan ama istri dan anak, saya gak perlu ijin atau malah kabur tanpa ijin dengan perasaan berdosa karena korupsi waktu. Saya hanya perlu memindah dan membagi waktu yang harusnya kerja ke waktu yang lain. Dan jalan-jalan di weekday itu menyenangkan loh!

    Lalu, yang “gak enaknya”, kemungkinan untuk overtime itu besar banget, karena ya gak ada jam pulang kerja. Apalagi kalau lagi multi-deadline, deadline dari beberapa kerjaan barengan, beuh. tanya istri saya deh πŸ˜€

    Namun, overtime ini biasanya saya manfaatin untuk ngejar target supaya esok harinya saya bisa istirahat full seharian, atau ya jalan-jalan tadi. kecuali beneran hectic banget. πŸ™‚

    ‘Dapet’ sesuai apa yang dikerjain

    Ini salah satu yang paling kerasa dan pertimbangan lebih untuk tetep full-time freelancer. Kalau bahasa freelance yang sudah pro, ini disebut kemerdekaan mengatur penghasilan, misal lagi ada kebutuhan lebih, berarti mesti buka dan nerima kerjaan lebih banyak dan selesein lebih cepet, supaya cepet closing projek. Atau kalau lagi ‘sejahtera’ bisa lebih longgar nerima kerjaan, gak perlu merasa makan gaji buta, dan dapet banyak waktu senggang supaya bisa di alokasikan ke kegiatan lain.

    Beberapa catatan

    Ada beberapa hal lain yang jadi catatan saya, dan mungkin jadi pelajaran untuk yang akan terjun full-time freelancer, antara lain

    Freelancer perlu modal

    Seperti di post saya sebelumnya, saya sudah menyiapkan segala hal untuk full-time freelancer. modal disini yang paling nyata adaah modal dari finansial karena gak ada jaminan bakal langsung dapet kerjaan dan pembayaran di bulan-bulan awal.

    Lalu modal skill, karena untuk start freelancing, bakal banyak ketemu saingan freelancer lainnya bahkan jika menggunakan channel seperti upwork maka saingannya bertambah dari penjuru dunia. Pada kondisi seperti ini cuma ada 2 cara untuk bertahan, turunin harga (yang berarti kamu perlu ekstra sabar, dan modal finansial yang kuat buat nutupin kebutuhan sehari-hari mu) atau naikin skill dan kualitas supaya menonjol dari yang lain.

    Gak selalu enak

    Kerasa banget dalam 6 bulan ini, gak selalu enak, bisa di bilang saya hanya menikmati di bulan pertama dan kemduian 2 bulan belakangan ini, ditengah-tengah, kerasa banget kerja kerasnya, berat dan ribet. Masalah-masalah seperti kerjaan yang molor dan jadi menumpuk berujung ke pembayaran yang di pending dan seterusnya. fuh.

    Dan yang paling gak enak adalah ketika ditanya ‘kerja dimana?’ mending kalau yang nanya dari kalangan millennials, kalau yang nanya lebih berumur biasanya bakal susah memberikan penjelasan yang bisa diterima.

    Treat like business

    Ini baru saya sadari sejak bulan terakhir ini, sebelumnya as freelancer, saya mah taunya cuma cari projek, kerjakan, dan dapet bayaran, sudah. Akhir-akhir ini saya mulai tersadar setelah nimbrung-nimbrung di berbagai grup freelancer online (beberapa yg oke : /r/freelance, dan freelance stack exchange), saya mulai fokus pada bagaimana caranya supaya saya sebagai frelancer, bisa scaling and growing up.

    Salah satu langkah awal adalah membuat report berkala supaya bisa terlihat perkembangannya, yang paling mudah dan nyata adalah melakukan report detail cash flow, nah sayangnya saya kepedean, saya pikir bank (dalam hal ini saya menggunakan BCA) sebagai money gateway saya, bakal menyimpan semua log history, tapi ternyata gak, kita hanya bisa melihat transaksi hingga 30 hari terakhir, sehingga saya gak bisa menghitung dan melihat perkembangan selama 6 bulan ini dengan data yang real.

    Kesimpulan,

    Selama 6 bulan ini, bisa dibilang saya belum mencapai level nyaman dan sukses dari sisi finansial, it’s so so lah dibanding kerjaan dikantor sebelumnya. Sedangkan dari sisi happiness saya merasa lebih bahagia, saya bisa mengatur waktu lebih bebas sehingga bisa mengobati atau menghindari kejenuhan kerja di saat yang dibutuhkan. Saya mau bilang kebahagian bisa bebas memilih tempat kerja, sehingga saya bisa berkerja di rumah sambil bermain dengan anak atau kegiatan rumahan lainnya, tapi memang sebelum-sebelumnya saya kerja remote, jadi ya sama aja.

    Di sisi lain, sisi karir, saya merasa jauh lebih produktif dan lebih berkembang karena lebih banyak kasus nyata yang ada di lapangan, saya mulai fokus dengan produktifitas kerja, karena ya kalau kerja nya tertunda-tunda atau gak beres-beres ujungnya pembayaran di delay atau bahkan di suspend, duh.

    Kalau ditanya apakah terpikir untuk balik kerja secara ‘official’ ? saat ini belum, saya terlanjur keenakan menikmati freedom dari freelancing, bukan berarti saya gak mau kerja dengan peraturan, beberapa projek yang saya kerjakan juga mengharuskan saya mentaati perarturan seperti jam kerja dan kehadiran, laporan kerja, dan peraturan layaknya karyawan pada umumnya, bahkan beberapa lebih ketat. Hanya saja saya masih banyak melihat tempat kerja yang konvensional yang menganggap karyawan adalah karyawan, bukan sebagai manusia yang berkembang. Sehingga saya belum tertarik untuk kerja secara ‘official’.

    Btw, Saya lebih memilih sebagai partner, so kalau kamu lagi ngerjain atau lagi ada projek web, kamu bisa konsultasi dan diskusi dengan saya lebih lanjut πŸ˜‰

  • Full-time freelancers

    6 bulan lalu saya bergabung dengan sebuah perusahaan lokal dengan klien dari beberapa negara tetangga, mostly australia dan juga dari negara paman sam, ada beberapa hal yang saya suka seperti how they paid me well, and disclipined work hours. Ini penting karena kalau kamu baca pengalaman saya sebelumnya, disiplin jam kerja itu susah, apalagi untuk…

    6 bulan lalu saya bergabung dengan sebuah perusahaan lokal dengan klien dari beberapa negara tetangga, mostly australia dan juga dari negara paman sam, ada beberapa hal yang saya suka seperti how they paid me well, and disclipined work hours. Ini penting karena kalau kamu baca pengalaman saya sebelumnya, disiplin jam kerja itu susah, apalagi untuk pekerja remote yang notabene rumah sudah jadi layaknya kantor. Sering kali bisa lupa waktu “pulang”.

    Sebenarnya sejak minggu pertama kerja sudah terasa bahwa saya gak akan betah lama, karena ada banyak hal yang berbeda yang saya pikir hal yang wajar, proses move on selalu tidak mudah. Tapi makin kesini semakin banyak hal yang membuat saya merasa bahwa saya gak cocok dengan culture kantor dan ada beberapa masalah yang belakangan muncul dan menjadikan saya fix bertekad bulat untuk resign di awal bulan maret ini tadi.

    Kalau kamu sudah berkeluarga dan punya buah hati yang masih kecil, kamu pasti tahu bahwa resign dari kantor tanpa ada rencana kemana akan berlabuh berikutnya adalah sama dengan bunuh diri. Beruntung saya terbantukan dengan beberapa side project yang sedang berjalan dan beberapa ada yang sudah masa closing, sehingga cukup memberi “modal” untuk beberapa bulan kedepan. Saya juga terbantukan dengan beberapa klien dari upwork yang suka dengan hasil kerja saya dan memberikan long term contract.

    So what next?

    Untuk jangka pendek, saat ini saya memilih fokus freelancing mengerjakan beberapa project yang sudah deal, karena uda gak kepotong jam kerja saya lebih punya banyak waktu buat pengerjaan, doing it fast, deliver faster, get payment, and go for holiday as soon as posible.

    Sedangkan untuk jangka panjang, saya pikir saya akan memanfaatkan jam kerja freelancing untuk sharpen and getting new skills, harapannya sih bisa membantu step up the game, naik level ke level kerja yang lebih worth.

    Tapi dari pengalaman temen-temen ‘seprofesi’, kebanyakan programmer (yang berkembang) cuma punya 2 tujuan hidup, berakhir jadi freelancers selamanya atau jadi business owner entah di bidang lain atau paling minim bikin web shop sendiri, biasanya sih malah keduanya.

    Yang jelas dari dulu sudah memang penasaran, dan kepengen untuk full-time freelancers untuk ngejar work-life balanced. Ini bukan masalah keren-keren-an, ini masalah freedom, terutama freedom dalam masalah menentukan jam kerja, karena para pekerja kreatif pasti tau bahwa mood dan semangat untuk menghasilkan karya gak datang straight 8 jam. Terkadang ada kalanya di masa suntuk yang biar ngotot seperti apa yang dihasilkan cuma lelah tanpa hasil. Kadang kalau lagi onfire gak perlu waktu lama untuk menyelesaikan banyak masalah. Saya melihat ini bakal jadi kesempatan buat menjalani rasa penasaran saya, tinggal ntar di lihat, berapa lama bisa bertahan dengan bekerja as full-time freelancers.

    Anyway, kalau kamu butuh SDM lebih buat segala macam aplikasi berbasis web, selalu bisa kontak saya πŸ˜‰

  • Tentang Kerja Remote

    Sebentar lagi tahun 2015 berakhir, dan memasuki januari tahun 2016 berarti saya akan memasukin tahun ke-3 saya sebagai remote worker atau pekerja remote. Awalnya saya belum mengenal kerja remote dan saya masih bekerja onsite di Bandung, iseng aja nanya ke atasan saya “saya boleh kerja dari tempat saya saja di Samarinda?” karena waktu itu saya…

    Sebentar lagi tahun 2015 berakhir, dan memasuki januari tahun 2016 berarti saya akan memasukin tahun ke-3 saya sebagai remote worker atau pekerja remote. Awalnya saya belum mengenal kerja remote dan saya masih bekerja onsite di Bandung, iseng aja nanya ke atasan saya “saya boleh kerja dari tempat saya saja di Samarinda?” karena waktu itu saya berpikir, as programmer saya bisa kok mengerjakan dan mengirim source code dan kerja online gak mesti di kantor. Atasan ternyata memberikan ijin namun dengan syarat, mesti 1 tahun dulu onsite dan sudah berkeluarga, dan kebetulan saat itu memang ada rencana untuk berkeluarga di 1 tahun berikutnya, dan akhirnya saya pun memulai sistem kerja yang ternyata sudah lama nge-trend dengan istilah remote working atau kerja remote.

    Baca juga:

    Pertengahan tahun 2015 ini saya menemukan grup facebook dengan nama kami kerja remote, dan ternyata beberapa teman saya sudah join disitu, keberadaan grup ini lumayan membantu beberapa teman saya mengenal jenis pekerjaan yang saya lakuin, karena kalau kamu bekerja as remote worker kamu pasti sering mengalami moment sedikit bingung ketika menceritakan pekerjaanmu ke teman-teman sekitar mu :D.

    Di grup itu juga, terlihat beberapa member memang awalnya masih belum tepat mengartikan tentang kerja remote, beberapa menganggap pengguna software remote (teamviewer, vcn, ssh, dll) atau ada juga yang menganggap ini jenis pekerjaan khusus programmer. Tentu saja bukan cuma beberapa member tersebut yang bingung, tetangga saya mengira saya kerja sebagai tukang bikin remote ketika menjelaskan pekerjaan saya ke tetangga :(, atau seperti beberapa teman saya yang dikira pesugihan karena gak pernah keliatan ngantor. hiks.

    Beberapa opini tentang kerja remote yang paling sering ada dan gak tepat

    Kerja Remote == Freelancer

    Ini yang paling sering, kerja remote disamakan dengan freelancer. iya sih kebanyakan freelancer kerja secara remote, tapi gak semua juga. Freelancer adalah masalah kontrak, dimana kita sebagai freelancer dikontrak untuk bekerja pada satuan waktu tertentu atau berdasarkan projek yang dikerjakan. Misal kamu kerja dengan status freelancers dan kamu gak mesti datang kekantor, itu baru disebut freelancer yang kerja remote, tapi ada juga freelancer yang mesti datang ke kantor, tiap hari. Dikantor saya dulu kami sempet nge-hire freelancer karena kekurangan tenaga, dan walaupun freelancer, orang tersebut mesti datang kekantor, meeting dan kerja di kantor setiap hari. Kalau sudah begini, dia bener freelancer, tapi kerja nya onsite, bukan kerja remote.

    Kerja Remote == Part Timer

    Terlepas dari ngelempar lowongan kerja di facebook itu kadang jadi absurd, jawaban dari orang ke 2 alias pemberi kerja agak gak nyambung, dan saya menduga mungkin pemberi kerjaan mengira kerja remote ini semacam freelancer, atau malah part timer. Padahal ini hal simple, part timer adalah kerja paruh waktu, biasanya para pelajar yang mau sambil kerja, atau saya juga pernah sebagai part timer walaupun masih dalam status karyawan di tempat lain. Sama seperti freelance, kalau kerja sebagai part timer dan mesti datang kekantor, namanya ya kerja onsite juga, bukan remote. Bisa jadi juga kerja nya part time atau malah full time, tapi gak mesti kekantor, berarti ya termasuk kerja remote.

    Kerja Remote mesti jadi Programmer

    Beberapa orang menganggap perlu jadi programmer buat ngerasain kerja remote. Sebenarnya gak juga, kamu bisa kerja remote dengan profesi apapun, rasanya pernah baca dokter melakukan operasi jarak jauh menggunakan teleconference, itu juga termasuk remote. Jadi bukan masalah kemampuan atau profesi, tapi lebih masalah persepsi bahwa kerja gak mesti ngumpul di 1 tempat. Profesi lain seperti desainer (desainer apapun), penulis (blog atau buku), pengajar ( pernah liat perkuliahan online? ), scientist dan photographer (contoh fotographer ama peneliti national geographic yang lagi di tengah hutan).

    Kerja Remote mesti di kantor luar negeri

    Memang sih jarang banget kantor / perusahaan yang akomodir kerja remote di Indonesia. Tapi bukan berarti gak ada, selama ini saya kerja remote pada 2 kantor di Indonesia, kantor pertama ada di Bandung dan kantor yang sekarang di Jakarta dan rumah saya di Samarinda. Ini lebih kearah pinter-pinter nego ke atasan mu kalau mau minta ijin kerja remote, dan karena masih jarang jadi ya agak maklum kalau gak di approve oleh si bos. pro tips nya mungkin kamu mesti tunjukin dulu bahwa kamu bisa kerja yang bener ketika onsite lalu seltelah beberapa waktu mulai deh obrolan tentang kerja remote.

    Digital Nomad

    Nah kalau ini level lebih tinggi dari para pekerja remote. Masih jarang banget sih istilah ini dipakai oleh temen-temen. Digital nomad ini sebenarnya adalah kebiasaan dimana si pekerja sukanya sambil traveling, ya karena sebagai pekerja remote, kita gak dibatasin mau kerja dimana saja, jadilah beberapa orang lebih memilih untuk sambil traveling keliling dunia, “karena dunia terlalu luas untuk tinggal di satu tempat” begitu sih biasanya slogan nya. Belum pernah sih denger orang indonesia yang ngelakuin digital nomad gini, tapi kalau para bule udah hal biasa. Seperti om vitally friedman, doi yang punya website smashing magazine, hidup nya pindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, bahkan dia gak punya rumah, kamu bisa baca disini. Tapi walaupun begitu, ada juga digital nomad yang kerjanya gak remote, saya pernah baca beberapa orang seperti pengajar, dokter, dan instruktur yang hidup nomaden sambil traveling, ketika sampai disuatu tempat mereka akan mencari kerja sebagai tenaga kerja lokal di tempat tersebut, sampai beberapa bulan mereka resign dan melanjutkan perjalanan.

    Tentang Kerja Remote

    Jadi kerja remote itu sebenarnya simple, kalau kamu bekerja entah jadi karyawan resmi, atau sekedar freelance, magang atau yang lainnya dan kamu gak mesti datang kekantor maka sudah termasuk kerja remote. Prinsipnya sebenarnya adalah supaya kamu bisa kerja di tempat dengan kondisi dan keadaan yang kamu sukai, harapannya dengan begitu kerja lebih produktif, karena gak perlu suntuk dengan ruangan kantor yang mungkin membosankan.

    Tentu saja ada banyak pertimbangan terutama dari sisi business owner untuk memberi akses kerja remote kepada karyawannya. Seperti saya tadi, mungkin kamu mesti kerja dulu onsite, lalu tunjukkan bahwa kamu memang bisa kerja dengan baik dan cukup bisa diandalkan, lalu mulai deh ajuin kerja remote paling gak dengan masa trial beberapa bulan, kalau lancar, baru minta permanen kerja remote.

    BTW, emang apa sih benefit dari kerja remote?

    Nah, ada beberapa kelebihan atau benefit yang hanya didapat ketika bekerja secara remote, saya tulis lengkap disini: Benefit Kerja Remote

  • Membaca dan mengorganisir artikel menggunakan Pocket

    Sejak pertengahan 2015 lalu, saya mulai fokus dalam mengembangkan dan menjalankan prinsip Get Things Done (GTD) mungkin karena efek sudah berkeluarga membuat saya mesti bekerja secara efisien dan optimal. Nah topik GTD sangat erat kaitannya dengan produktifitas, manajemen waktu,  lifehack, dan segala macam hal yang akan berujung pada work-life balanced. Ada banyak hal yang dapat…

    Sejak pertengahan 2015 lalu, saya mulai fokus dalam mengembangkan dan menjalankan prinsip Get Things Done (GTD) mungkin karena efek sudah berkeluarga membuat saya mesti bekerja secara efisien dan optimal. Nah topik GTD sangat erat kaitannya dengan produktifitas, manajemen waktu,  lifehack, dan segala macam hal yang akan berujung pada work-life balanced.

    Ada banyak hal yang dapat menggangu produktifitas kita saat berkerja, salah satunya adalah gak bisa menahan diri untuk meng-klik dan membaca artikel menarik dari sosial media ataupun sumber informasi lainnya. Yang sering kejadian, ketika lagi browsing mencari resource tiba-tiba dapet artikel menarik, klik, dibaca dan lupa waktu.

    Saya sendiri biasanya pagi hari sebelum berkerja menyempatkan membuka RSS reader saya, membaca berita dan informasi yang lagi nge-hype. Biasanya saya akan menemukan beberapa artikel yang sangat menarik namun kalau dibaca saat itu juga maka akan cukup menghabiskan waktu. Saat seperti ini, saya akan menyimpan ke pocket untuk dibaca nanti setelah ada waktu senggang.

    Tentang pocket

    Pocket adalah aplikasi yang sederhana, aplikasi ini bakal menyimpan artikel yang kamu rasa perlu buat dibaca di lain waktu, se-simple itu. Walaupun begitu, ada beberapa fitur yang menarik, seperti:

    Best view layout, fitur ini membuat semua artikel yang kamu simpan di pocket akan di format dalam bentuk yang sangat membuat nyaman membaca. Kalau biasanya membaca artikel di website bakal keganggu dengan elemen-elemen website seperti widget, banner promo, ads dan lainnya, di pocket semua akan hilang hanya tersisa judul, tanggal, penulis, dan tentu saja konten berita. Jadi lebih fokus membaca.

    Tagging, setiap artikel yang disimpan di pocket bisa diberi tagging, sehingga lebih mudah dalam mengorganisir, mengelompokkan dan pencarian artikel.

    Offline reading, ini yang paling penting, artikel yang disimpan di pocket bisa dibaca saat offline, tentunya sebelumnya mesti online dulu, biarkan pocket nge-sync dan nge-save artikel di device mu kemudian selanjutnya kamu bisa baca artikel yang kamu simpan dimana saja kapan saja.

    Multi platform, pocket tersedia untuk berbagai macam platform desktop, mobile, dan juga versi web nya. Jadi saya bisa gonta ganti device dan tetep ter-sync data maupun aktifitas saya.

    Baru-baru ini, pocket merilis fitur baru, recommendations, dimana para pengguna pocket akan punya halaman profil sendiri yang bisa diisi dengan artikel yang di rekomendasikan. Kamu bisa juga follow user lain sehingga bisa melihat apa yang orang tersebut rekomendasikan buat dibaca. Asiknya, belum ada endpoint buat rekomendasi ini dari API mereka, sehingga artikel yang direkomendasikan bener-bener dari si pengguna, bukan bot (seperti kebanyakan user facebook dan twitter, uhuk)

    Tips menggunakan pocket

    1. Install plugin pocket di browser yang kamu gunakan, jadi kamu bisa tinggal klik button pocket di browser untuk menyimpan artikel.
    2. Kalau kamu pengguna OSX, install aplikasi desktop nya, supaya pocket bisa masuk ke fitur share di OSX,
    3. Install di smartphone mu, pocket akan muncul ketika kamu klik share, sehingga bisa dengan mudah menyimpan ke pocket dari aplikasi apa saja yang mendukung fitur share.
    4. Ada banyak apps yang mengintegerasikan pocket didalamnya, cari tahu di setiap setingan apps, kalau benar support pocket, bakal muncul tombol atau shortcut khusus untuk lebih mudah menyimpan konten ke pocket.
    5. Gunakan order dari terlama ke terbaru pada list artikel pocket.Β Ini membantu agar tidak ada artikel lama yang tersimpan di reading list kamu. Dengan begini, kamu mau gak mau bakal ngebaca semua artikel yang sudah kamu simpan, bukan cuma yang terbaru saja.
    6. Mark as read segera kalau dirasa gak perlu dibaca tapi perlu disimpan, misal artikel yang bersifat tutorial, dalam kasus saya tutorial progamming, gak pas rasanya kalau dibaca di rumah makan atau tempat tidak kondusif lainnya, jadi saya bakal kasi tagging yang jelas, lalu mark as read, ntar kalau perlu baru dicari lagi, jadi gak menuhin reading list saya.
    7. Follow orang-orang keren, biasanya paraΒ author dari media-media besar lebih banyak memberikan rekomendasi artikel yang berbobot.

    Link

  • Pengalaman saya bekerja pada digital creative agency lokal

    Sebenarnya saya agak bingung apa sebutan yang lebih tepat untuk “mereka” ini. Beberapa menyebut digital agency, atau juga creative agency, atau digital marketing agency, atau lainnya, tapi setidaknya semua punya kesamaan, kalau di googling “digital agency” pada muncul semua πŸ™‚ Ceritanya selama periode 2012 – 2015 lalu, saya bekerja sebagai web developer pada salah satu…

    Sebenarnya saya agak bingung apa sebutan yang lebih tepat untuk “mereka” ini. Beberapa menyebut digital agency, atau juga creative agency, atau digital marketing agency, atau lainnya, tapi setidaknya semua punya kesamaan, kalau di googling “digital agency” pada muncul semua πŸ™‚

    Ceritanya selama periode 2012 – 2015 lalu, saya bekerja sebagai web developer pada salah satu software house yang mana kami menjadi vendor untuk beberapa digital agency. Kebanyakan projek yang dikerjakan adalah membangun aplikasi website yang tujuannya untuk mempromosikan brand, produk, ataupun kegiatan dari brand-brand terkemuka di Indonesia.

    Baca juga:


    It’s Fun!

    Sebagai programmer, bekerja dengan creative agency itu “sedikit menyenangkan”, kalau kamu biasa bekerja untuk membuat aplikasi yang sifatnya seperti database, sistem informasi, atau sekedar web profile sederhana, maka projek dari digital agency ini biasanya lebih segar dan menyenangkan, selalu ada new challenge di setiap projek, kebanyakan berupa mini-gamification memanfaatkan social media, misal : saya pernah dapet projek bikin ‘lomba-lari-berwarna’ virtual dimana kamu akan berlomba lari dengan orang lain, nah gimana caranya kamu bisa lari? dengan ngetwit dengan hashtags yang sudah di set, jadi semakin banyak kamu ngetwit,  karakter kamu larinya bakal makin kenceng! seru!

    Termasuk juga design yang dikerjakan, karena sifatnya advertisement, kebanyakan website-website yang di handle punya design yang unik dan keren gak monoton, jadi seger deh ngerjainnya.

    Banyak pelajaran 

    Pernah suatu ketika dapat projek yang luar biasa nge-hits, dalam 1 hari bisa sampai 100.000 entry data masuk! dalam 2 minggu projek berjalan, ada 2 juta lebih data yang masuk dan MySql pun sampe agak ngos-ngos-san, fiuh. Pernah juga dapet projek ‘jual-cepat’ salah satu provider smartphone di indonesia, yang mana target nya dalam seminggu ada sekitar 2000 calon pembeli, tapi ternyata setelah masuk TV nasional dan di promoin oleh Raffi Ahmad, Boom, hari pertama langsung ada sekitar 3000an orang yang daftar! data membludak, gak sedikit yang komplain website nya down.

    Dari sini saya dan tim belajar untuk manajemen lompatan visitor yang tiba-tiba membludak, menangani data yang super besar, ada banyak hal teknis dan non teknis yang bisa di ambil pelajaran dari setiap project. Hal kecil bisa menjadi masalah yang akan jadi bumerang dan menyerang brand yang kami handle (dan itu bahaya bro, bisa gak dibayar, atau malah di blacklist :D).

    Yang gak enak

    Oke, cukup yang seger dan enak-enak nya. Bekerja dengan digital agency itu cukup lumayan menyita waktu hidup. Saya yang hanya sebagai vendor pun ikut merasakan, dimana deadline yang kadang begitu mepet, atau tengah malam masih on project, dan hal-hal lain yang bikin cukup illfeel.

    Pernah suatu ketika dapet project yang mesti selesai dalam waktu 3 hari! belum cukup? 3 hari itu adalah jumat, sabtu, minggu, dan senin pagi sudah mesti launch. fuuuu. Anak agensi pasti menganggap saya cupu, saya sudah sering dapet email revisi lewat dari jam 11 malam bukan cuma di hari kerja, jadi masa baru gitu sudah ngeluh, iya lah, problem nya adalah kerja ala agency super, bayaran ala software house kecil-kecilan. *oke ini di luar konteks πŸ˜€

    Kadang juga kerjaan yang di dapet bertubi-tubi, di satu sisi bersyukur karena dapet projekan baru, di sisi lain mikir, lha yang kemarin aja belum kelar. Sering 1 orang menghandle 3-4 project barengan, dan masih mending kalau pada mau antri yang tertib, kebanyakan kasus pada gak mau antri, semua mau barengan. Seringkali, sambil nunggu uploading 1 project, switch ngerjain projek lain. Sekali lagi, para anak agensi pasti bakal bilang cupu, karena saya sering denger kebanyakan mereka ngerjain 5-6 project barengan dalam 1 waktu. *atau itu hanya mitos senior saya!

    Kesimpulan

    Dari hampir 3 tahun saya bekerja dengan digital agency, menangani brand-brand besar di Indonesia, rasanya itu menyenangkan, banyak hal baru yang terus di dapet, level kreatifitas ikut naik walaupun kebagian kerja cuma koding. Tapi ya gitu, overwork jadi sudah biasa, kamu mesti bener-bener serius dalam menjaga kesehatan.