• Halo, 2018

    Ah, minggu pertama di tahun 2018. Seperti tahun-tahun sebelumnya, saya telah membuat resolusi atau lebih tepatnya goal yang ingin saya capai di tahun ini. Membuat resolusi itu gampang men, masalahnya adalah pada kebanyakan kasus, resolusi hanya berakhir sebagai catatan awal tahun, setelah itu gak kedengaran gemanya hehe.

    Ah, minggu pertama di tahun 2018. Seperti tahun-tahun sebelumnya, saya telah membuat resolusi atau lebih tepatnya goal yang ingin saya capai di tahun ini. Membuat resolusi itu gampang men, masalahnya adalah pada kebanyakan kasus, resolusi hanya berakhir sebagai catatan awal tahun, setelah itu gak kedengaran gemanya hehe.

    (lebih…)

  • Mengevaluasi jam kerja menggunakan time tracking apps

    Kalau kamu adalah seorang freelancer, terutama hourly based freelancer, pasti sudah familiar dengan time tracking apps. Intinya time tracking apps adalah aplikasi yang digunakan untuk mencatat dan mengukur berapa banyak waktu yang kamu habiskan untuk melakukan suatu kegiatan. Nah, biasanya hourly based freelancer akan menggunakan time tracking apps untuk mencatat berapa banyak hours yang mereka…

    Kalau kamu adalah seorang freelancer, terutama hourly based freelancer, pasti sudah familiar dengan time tracking apps. Intinya time tracking apps adalah aplikasi yang digunakan untuk mencatat dan mengukur berapa banyak waktu yang kamu habiskan untuk melakukan suatu kegiatan. Nah, biasanya hourly based freelancer akan menggunakan time tracking apps untuk mencatat berapa banyak hours yang mereka habiskan lalu mengkonversi nya menjadi invoice untuk dikirim ke klien mereka. Walaupun akrab dengan hourly based freelancer, sebenarnya time tracker bisa digunakan untuk keperluan lebih luas oleh semua orang.

    Saya pernah merasakan bekerja menggunakan time tracking apps, baik ketika masih jadi karyawan, ketika itu si kantor mengharuskan karyawannya untuk menginstal software yang berupa time tracking apps + screen recording, tujuannya jelas untuk mengukur performa karyawan (walaupun lebih terkesan seperti memata-matai karyawan, sigh), pernah juga ketika sudah fulltime freelancer karena saya sempat pikir hourly based project adalah sistem kerja yang paling fair untuk bekerja. Dari 2 pengalaman tersebut, saya merasakan bahwa sebenarnya time tracking apps bisa dipakai untuk keperluan lain, mengungkap seberapa efisien kita bekerja, dan menjadi benchmark bagaimana kita bekerja bahkan sampai mengurangi kemungkinan burn out.

    (lebih…)
  • Benefit dari kerja remote

    Tulisan ini berdasarkan pada salah satu pertanyaan di grup Facebook Kami Kerja Remote. Sebagai catatan, konteks dari pertanyaan dan jawaban dibawah adalah dari sisi karyawan / pekerja. Saya belum membahas dari sisi perusahaan. Btw, untuk yang belum familiar dengan kerja remote, bisa baca artikel sebelumnya disini. Sebelumnya, saya memulai kerja remote pada salah satu tempat…

    Tulisan ini berdasarkan pada salah satu pertanyaan di grup Facebook Kami Kerja Remote. Sebagai catatan, konteks dari pertanyaan dan jawaban dibawah adalah dari sisi karyawan / pekerja. Saya belum membahas dari sisi perusahaan.

    Btw, untuk yang belum familiar dengan kerja remote, bisa baca artikel sebelumnya disini.

    Sebelumnya, saya memulai kerja remote pada salah satu tempat kerja saya di Bandung, sebuah software house yang tadinya sih saya kerja secara onsite bahkan nginep di kantor. 1 tahun kemudian saya menikah dan meminta opsi kerja remote yang sebenarnya sudah di di sounding sejak jauh-jauh hari sebelumnya. Beberapa tahun kemudian saya resign dan bekerja untuk perusahaan lain, di Jakarta, Sydney, dan New York dan tentu saja semua dilakukan secara remote dari rumah saya di Samarinda.

    Setelah semua itu, apa sih Benefit dari kerja remote?

    Saya gak kuatir kehilangan waktu bersama anak dan istri.

    Jadi karena kerja tanpa harus pergi kekantor, maka saya bisa bekerja dari rumah, entah rumah saya apa rumah ortu atau mertua, dimana saya bisa lompat dikit untuk nemuin anak istri saya, main-main bentar sambil nyari ide kreatif, lalu balik lagi kekamar tak berpintu untuk melanjutkan pekerjaan.

    Kalau ada apa-apa dengan anak saya maka saya tinggal celinguk dikit.

    Tentunya ini lebih baik lagi jika dikombinasikan dengan flexible working hours

    Menghindari kebosanan kerja

    Seberapa baik pun ruangan kerja di kantor mu, kalau setiap hari Senin-Jumat (atau weekend juga? :p) berbulan-bulan atau bertahun-tahun pastilah bosen juga.

    Oleh karena itu, dengan kerja remote tanpa harus pergi kekantor, saya bisa bekerja dari mana saja, misal ajak anak istri nge-mall, biarin mereka main dan saya balik kerja di salah satu pojok kafe. Atau malah ngikutin lifestyle digital nomad, dimana kamu kerja tapi sambil traveling. Paling minim, kalau bosen saya bisa setup kamar kerja saya sendiri sesuai keinginan.

    Mencari pekerjaan yang sesuai

    Ditempat saya tinggal, mencari pekerjaan / project yang sesuai dengan skill saya agak susah, kalaupun ada maka penghargaan yang diberikan agak kurang sesuai. Nah kerja remote membantu saya menemukan dan melakukan pekerjaan yang sesuai (dari minat, bakat dan juga bayaran tentunya) dari kota mana saja bahkan negara mana saja, tanpa harus re-lokasi atau pindah tempat tinggal.

    Salah satu joke antar pekerja remote adalah “tinggal di desa penghasilan metropolitan” sangat menggambarkan benefit dari kerja remote.

    Tentu saja selalu ada positif dan negatif dari sistem kerja remote. Diatas tadi adalah beberapa benefit yang saya rasakan, untuk negatif nya akan saya bahas di artikel lain deh.

    Ah iya, pastikan kamu tidak mensalah-artikan kerja remote dan freelancer 🙂

  • Berlari tanpa garis akhir

    Salah satu isu yang sering dihadapi programmer terutama yang bekerja secara project by project adalah update, penyesuaian atau revisi pekerjaan yang berlalu begitu lama yang bisa sampai berbulan-bulan atau bahkan lebih. Dulu waktu saya masih bekerja pada salah satu software house ada istilah “never ending story” atau ya ibarat lari, lari tanpa garis akhir. Ada…

    Salah satu isu yang sering dihadapi programmer terutama yang bekerja secara project by project adalah update, penyesuaian atau revisi pekerjaan yang berlalu begitu lama yang bisa sampai berbulan-bulan atau bahkan lebih. Dulu waktu saya masih bekerja pada salah satu software house ada istilah “never ending story” atau ya ibarat lari, lari tanpa garis akhir.

    Ada beberapa hal yang menjadi penyebab dari isu ini.

    Briefing tidak detail

    Entah dari sisi klien yang kurang detail menjelaskan kebutuhan dan harapan dari projek yang akan dikerjakan ini atau dari sisi programmer nya yang kurang nangkep curahan hati si klien, pada kebanyakan kasus menyebabkan projek gak pernah kelar karena gak sesuai dengan kebutuhan, ya karena memang dari awal tidak terindeks masalah apa yang ingin di selesaikan, lalu solusi atau bantuan seperti apa yang diharapkan dan didapat dari projek tersebut.

    Hal ini menyebabkan si klien akan terus mengubah dan menambahkan fitur kedalam projek walaupun sebenarnya sudah melewati dari scope pekerjaan, timeline dan budget.

    Oleh karena itu penting untuk merumuskan sejak awal pengerjaan projek untuk mengetahui apa sih sebenarnya yang di harapkan dari projek tersebut? Biarkan si klien curhat, pastiin si klien mengeluarkan semua ekspektasi dari projek ini, lalu rekap semua nya dalam bentuk kontrak untuk menjaga scope pekerjaan.

    Menganggap remeh spesifikasi projek

    Tentu saja mudah mengatakan untuk membuat kontrak lalu komit dengan kontrak tersebut, tapi pada kebanyakan kasus selama masa pengerjaan projek akan banyak hal yang muncul di luar kesepakatan.

    Biasa terjadi karena baik klien maupun programmer sama-sama menganggap remeh projek dan berpikir “ntar gampang-lah diubah, tinggal tambah sedikit”.

    Sebagai freelancer, saya juga sering menganggap remeh urusan spesifikasi pekerjaan ini, yang penting deal dulu. Ternyata belakangan sering menyebabkan konflik karena spesifikasi projek yang selalu berkembang karena tidak di define secara baik dari awal.

    Kadang klien juga karena merasa sebagai pembayar, maka yaudah lepas tangan gak mau ikut repot dalam perencanaan, bahkan sering tidak memperhatikan spesifikasi projek, sehingga kemungkinan untuk salah paham dalam mendefinisikan kebutuhan sangat besar.

    Perbedaan persepsi klien dan programmer

    Yang paling sering adalah perbedaan definisi tentang maintenance bug/error dari projek dan pengembangan fitur baru. Beberapa klien menanggap masa testing atau juga masa support adalah masa dimana si klien boleh menambah atau request fitur baru, sehingga ya gak kelar-kelar karena scope pekerjaan berkembang.

    Padahal harusnya masa tersebut lebih fokus pada perbaikan error/bug yang ditemukan.


    Tips and Trick

    Tentu saja ada beragam alasan kenapa sebuah projek bahkan tidak mendekati garis finish, pertanyaan berikutnya, bagaimana menghadapi kasus seperti ini?

    Ada beberapa trik dan cara mengatasi masalah seperti ini, beberapa yang biasa saya lakukan adalah sebagai berikut:

    Mengingatkan spesifikasi ke klien

    Karena ya itu tadi, kadang spesifikasi hanya dianggap sebagai formalitas padahal spesifikasi pekerjaan menunjukkan apa yang akan dikerjakan, apabila ada yang tidak sesuai bisa di cegah dari awal.

    Memberikan laporan berkala

    Supaya selalu on the track. Kalau perlukan di lakukan demo atau pertunjukan langsung apa yang sudah dikerjakan secara berkala.

    Jelaskan perbedaan revisi dan new request

    Termasuk konsekuensinya, seperti misal penambahan atau perubahan suatu modul pekerjaan, maka perlu diingatkan bahwa hal tersebut menyebabkan projek keluar dari timeline, sehingga kemungkinan bakal telat dari jadwal, sampai kemungkinan penambahan biaya karena ya tambahan masa kerja.

    Kontrak awal itu penting

    Ini bukan sekedar potensi tambahan penghasilan, tapi lebih ke peringatan kepada klien untuk lebih memperhatikan projek.

    Untuk beberapa kasus ini berhasil membuat klien lebih memperhatikan setiap request yang di berikan, karena ya bisa menjadi extra cost di sisi mereka.

    Setelah semua alasan dan cara menghindari projek “never ending story” ini, poin penting nya sebenarnya terletak pada perencanaan projek dan kemampuan menjaga kontrak yang disepakati, walaupun setelah itu tentunya kembali ke pihak-pihak yang terkait dengan projek tersebut.

  • Flexible Working Hours

    Kalau ditanya, apa yang paling menarik dari bekerja as freelancer (dalam hal ini programmer freelance), maka saya akan menjawab kebebasan memilih jam kerja AKA Flexible Working Hours. Beberapa orang mungkin bakal menjawab kebebasan untuk bekerja secara remote, dimana bisa bekerja secara bebas dimana saja. Tapi saya beruntung karena sempat merasakan bekerja pada digital agensi dan…

    Kalau ditanya, apa yang paling menarik dari bekerja as freelancer (dalam hal ini programmer freelance), maka saya akan menjawab kebebasan memilih jam kerja AKA Flexible Working Hours. Beberapa orang mungkin bakal menjawab kebebasan untuk bekerja secara remote, dimana bisa bekerja secara bebas dimana saja. Tapi saya beruntung karena sempat merasakan bekerja pada digital agensi dan webshop dari bandung, jakarta, sydney, bahkan florida dimana semuanya mengijinkan saya untuk bekerja secara remote walaupun sebagai karyawan, sehingga kerja remote bukanlah hal baru lagi bagi saya. Flexible Working Hours adalah hal yang benar-benar baru dan menyenangkan yang saya rasakan ketika memulai fulltime freelancer.

    Privilege

    Seperti ditulis diatas, Flexible Working Hours adalah kebebasan untuk memilih jam kerja. Sebagai freelancer, saya bisa memilih kapan saya harus bekerja, bisa di pagi hari, siang hari, malam, apapun tanpa ikatan dan keharusan untuk standby 9 to 5, atau 8 jam straight. Tentu Saja ini gak bisa diberlakukan untuk semua jenis profesi, tapi sangat memungkinkan untuk pekerjaan yang sifatnya kreatif (pekerja kreatif) yang tidak langsung berhubungan dengan user/klien/masyarakat.

    Kenapa ini sangat spesial? karena apabila kamu adalah pekerja kreatif, bisa jadi programmer, designer, penulis, ataupun profesi lainnya yang menggunakan kreatifitas, maka kamu pasti pernah merasakan ada jam-jam atau bahkan hari-hari tertentu dimana kamu bener-bener gak mood, gak dapat ide, gak masuk zona produktif, atau simply, kamu gak bisa melakukan apapun, atau sebaliknya, ada masa-masa tertentu dimana kamu bener-bener semangat, on fire, produktif sekali, bekerja lebih cepat dan efisien, baik secara kualitas ataupun kuantiti. Disinilah kebebasan memilih jam kerja sangat berperan dalam membantu menghasilkan produk kerja yang optimal.

    Katakanlah kamu bekerja “9-5” setiap harinya, tapi ternyata ada masa dimana suatu pagi kamu beneran gak in ke kerjaanmu, lagi gak semangat, lagi stuck, atau kejadian lain yang tidak terkendali (listrik mati, internet mati, laptop rusak). Baru setelah istirahat makan siang kamu mulai dapet semangat dan ide baru, tapi jam kerja sudah akan berakhir, dan jadilah kamu mengakhiri hari kerja mu dengan pekerjaan yang gak beres. Beberapa orang terbiasa dengan lembur atau menambah jam kerja untuk mengejar ketertinggalan, yang akhirnya malah jadi bumerang, kelelahan karena pulang larut, stress karena gak sempat melakukan hal lain, si bos jadi bingung karena kerjaannya molor, melebihi jam pulang kerja, dan lagi mesti bayar biaya ekstra untuk bayar jam lembur karena kerjaan yang dilakukan “diluar jam kerja”.

    Dengan Flexible Working Hours, saya bisa mengatur jam kerja saya sendiri. Kalau lagi pas gak dapet ide, stuck, dan gak in touch ama yang dikerjain, ya sudah, saya memilih untuk rehat, bermain atau jalan-jalan bersama anak dan istri, having fun, dan begitu balik, sudah seger, baru mulai melanjutkan pekerjaan yang tertunda dengan semangat baru dan ya terasa, semuanya menjadi lebih mudah. No extra hours, karena pada dasarnya saya bekerja tidak lebih banyak dari jumlah jam kerja, bahkan untuk beberapa kasus saya melakukan pekerjaan lebih banyak dengan jumlah jam kerja yang lebih sedikit.

    Efisien

    Selain kebebasan mengatur jam kerja, salah satu potensi lain dari flexible working hours adalah kebebasan mengatur jumlah jam kerja. Sama seperti contoh diatas, kalau kamu bisa menyelesaikan pekerjaan dengan waktu 4-5 jam, kenapa harus standby di meja kerja selama 8 jam? ya tentu saja jawabannya adalah “karena peraturannya memang sudah begitu”. duh.

    Saya pernah merasakan ketika masih bekerja pada salah satu web shop, dimana saya ditegur karena jam kerja mingguan saya hanya sekitar 26 jam (saya lupa tepatnya) yang mana hanya sekitar setengah dari yang normalnya dan harusnya dilakukan, yaitu 40 jam. Saat itu saya mengajukan keberatan karena pada dasarnya, walaupun dengan jam kerja hanya setengah dari yang ditetapkan, saya menghasilkan produk kerja 5 kali lebih banyak dari rekan-rekan programmer lain, yang mana menjadikan tugas saya kosong, dan gak ada yang mesti dikerjain, that’s why jam kerja saya gak sampai 40 jam. Tapi ya tetep, saya yang kalah dan ya emang salah, karena “kebijakan perusahaan”. Menurut saya, ini gak manusiawi, dan ini juga menjadi salah satu alasan kenapa saya memilih jalur freelance ini.

    Saya sendiri, biasanya bekerja 6 jam * 5 hari, dengan komposisi 4 jam di pagi hari, 2 jam di sore hari setelah tidur siang, kadang sebaliknya, atau kadang 2 jam pagi hari, 2 jam sore hari, dan 2 jam malam hari. Pemisahan jam kerja ini tentu saja berdasarkan beragam variabel keadaan. Sejauh ini komposisi ini aman-aman saja, ya gak bisa di pungkiri, beberapa kasus harus memaksa keluar dari komposisi ini, misal salah satu kerjaan saya yang harus stick dengan jam kerja mereka (pake timezone US pula), atau tugas-tugas yang sifatnya kritikal dan urgent banget, tapi overall ini ok saja, saya bisa bekerja lebih rileks, lebih bisa menikmati waktu, bukannya dikejar-kejar waktu, dan pada beberapa kasus si klien jadi lebih hemat, karena jam kerja lebih sedikit namun kerjaan tetap terjaga.

    Belakangan ini saya lagi dalam proses eksperimen untuk memotong lebih jauh, menjadi 4 jam * 6 hari. Harapannya bisa punya lebih banyak waktu untuk belajar, quality time ama anak istri, mengerjakan sideproject, ataupun hal lainnya namun tetap menghasilkan pekerjaan yang sama baiknya atau bahkan lebih baik dibanding dengan programmer kantoran yang bekerja 8 jam sehari straight.

    Ah itu mah kamu nya aja yang males, gak disiplin.

    yep, ini gak sepenuhnya salah. Setiap orang pasti ada masanya untuk merasa males, that’s ok, menurut saya, itu manusiawi. Ketika lagi masa males itu, saya gak bakal efektif kalau tetep disuruh melakukan hal yang males-in tersebut. Jadi daripada kerja dengan males-malesan, mending diputar, diganti waktunya, sehingga akhirnya bisa bekerja dengan semangat, dan menghasilkan kerja lebih baik dan menurut saya itu masuk kategori disiplin karena sesuai target yang ditetapkan.

    Dih, namanya juga kerja, mau males, gak mood, stuck, ya mesti kerja sesuai aturan

    Salah satu dosen saya pernah nyeletuk ketika lagi ngobrol-ngobrol di luar kelas, “kita, manusia harus mengontrol pekerjaan, bukan sebaliknya”. Ya saya sadar bahwa gak semua orang punya opsi untuk memilih pekerjaan ataupun aturan yang dijalani, jadi ya gak bisa protes. Nah kebetulan saya punya kesempatan untuk memilih apa yang akan saya kerjakan jadi saya gak harus mengikuti aturan yang ada, saya memilih membuat aturan main sendiri untuk mengontrol pekerjaan saya.

    Mana ada perusahaan yang mau hire programmer yang kerja semaunya gitu

    Sebenarnya ada banyak perusahaan yang menerapkan ini, terutama perusahaan yang berada dalam skala global, timnya terdisitribusi diberbagai negara, seperti Toptal, 37Signals, Buffer, atau yang famous si Automattic dan lainnya. Kalau di Indonesia sendiri, saya kurang survey, tapi sempet liat salah satu postingan di group facebook, dimana ada startup yang menawarkan job offer dengan sistem kerja remote dan flexible working hours ini. Tapi ya emang langka banget, that’s why saya masih memilih jadi freelancer saja :).

    Terus gimana cara komunikasi, diskusi ama rekan lain kalau jamnya pada fleksibel?

    Nah, ini agak tricky. Bakal berbeda-beda untuk berbagai case. Biasanya saya bakal menggunakan waktu di pagi hari untuk menyapa rekan kerja / klien, report tugas hari sebelumnya kalau ada yang belum di report, konfirmasi tugas yang mau dikerjain hari ini, lalu yaudah, skype di smartphone saya selalu standby. Yang perlu diperhatikan adalah, gak semua pesan perlu langsung dikerjakan saat itu juga, kebanyakan pesan yang masuk hanya berisi konfirmasi, kalaupun ada tugas yang datang kadang hanya perlu quick response seperti “Ok, ntar ya”.

    Bukan berarti gak responsif, tapi pada kebanyakan projek, semua tugas sudah di defined dan di scheduled sejak awal, jadi kalau ada tugas baru datang di luar roadmap, kemungkinan tugas tersebut berupa “keinginan sesaat” atau tugas yang begitu besar, yang berarti mesti di pelajari lebih jauh, mengecek korelasi prioritas dengan tugas lainnya, jadi ya “ntar ya”. Kalau di 37 Signals, terkenal dengan istilah Work can wait.

    Flexible working hours menurut saya adalah salah satu sistem yang sangat manusiawi, yang memperhatikan aspek perasaan, keadaan, kebutuhan dan situasi kerja para pekerjanya, yang menyadari bahwa ya as human, ada masa suntuk, bosen, gak mood, sedih, atau juga perasaan bahagia, penuh semangat, bukannya dipukul sama rata dan mesti standby pada jam yang over-general. Yah tentu saja, seperti disebutkan diatas, hal ini gak bisa diperlakukan untuk semua orang dan semua jenis pekerjaan.

    Referensi bacaan terkait flexible working hours