the best camera is the one you have with you.
Ungkapan lama yang selalu benar 🙂
Percuma bagus-bagus kamera, kalau pas lagi mau digunakan malah ketinggalan.
Tau yang lebih parah?
Sudah bawa kamera, memory nya ketinggalan :’)
the best camera is the one you have with you. Ungkapan lama yang selalu benar 🙂 Percuma bagus-bagus kamera, kalau pas lagi mau digunakan malah ketinggalan. Tau yang lebih parah? Sudah bawa kamera, memory nya ketinggalan :’)
the best camera is the one you have with you.
Ungkapan lama yang selalu benar 🙂
Percuma bagus-bagus kamera, kalau pas lagi mau digunakan malah ketinggalan.
Tau yang lebih parah?
Sudah bawa kamera, memory nya ketinggalan :’)
Berhubung sekarang lagi menggunakan lensa manual fokus di kamera, jadi cari tahu dan belajar gimana caranya biar bisa fokus dengan lebih cepat dan tepat. Tadinya saya pikir bakal ribet karena ya mesti muter focus ring tiap mau foto, ternyata gak harus begitu, ada istilah Zone focus. Zone focus arti kasarnya…
Berhubung sekarang lagi menggunakan lensa manual fokus di kamera, jadi cari tahu dan belajar gimana caranya biar bisa fokus dengan lebih cepat dan tepat. Tadinya saya pikir bakal ribet karena ya mesti muter focus ring tiap mau foto, ternyata gak harus begitu, ada istilah Zone focus.
Zone focus arti kasarnya mengatur kamera supaya fokus ke area (zone) dengan jarak tertentu. Jadi misal setting supaya fokus di jarak sekitar 2 sampai 5 meter, artinya apapun yang ada di dalam area itu akan fokus, makin ketengah makin fokus dan tajam.
Zone focus bisa membantu untuk membuat kamera lebih cepat dalam mengatur fokus karena ya apapun yang ada dalam area akan fokus, jadi gak perlu delay karena kamera harus nyari fokus dulu, walaupun ya kamera makin kesini makin canggih dan cepat dalam mencari fokus (tergantung kamera, yang pasti bukan kamera saya :D).
Di YouTube ada banyak yang bahas detail teknikal untuk mengerti dan mengetahui bagaimana zone fokus bekerja yang mana menurut saya akan lebih mudah dijelaskan dalam format video.
Berikut beberapa diantara banyak video yang sudah saya tonton dan menurut saya cukup detail dan mudah dimengerti.
Masalah berikutnya: saya gak bisa mengira-ngira jarak dalam meter 😀
Kali ini mau compare sedikit antara lensa TTArtisan 50mm F2 yang baru datang kemarin vs Lensa kit Fujifilm XC 16-55mm bawaan kamera. Ini bukan perbandingan yang penuh scientific dan perhitungan yang gimana-gimana, beneran jepret objek yang sama dengan setting yang sama. Perbedaannya hanya untuk TTArtisan saya menggunakan manual fokus sedangkan…
Kali ini mau compare sedikit antara lensa TTArtisan 50mm F2 yang baru datang kemarin vs Lensa kit Fujifilm XC 16-55mm bawaan kamera.
Ini bukan perbandingan yang penuh scientific dan perhitungan yang gimana-gimana, beneran jepret objek yang sama dengan setting yang sama. Perbedaannya hanya untuk TTArtisan saya menggunakan manual fokus sedangkan Lensa kit saya pakai fitur autofocus nya, sedangkan settingan exposure triangle, film simulation dan lainnya sama.
Semua gambar disusun yang kiri adalah TTArtisan 50mm dengan aperture 5.6 sedangkan yang kanan adalah lensa kit Fujifilm XC menggunakan focal length 50mm dan aperture 5.6.
Klik untuk perbesar gambar.
Jujurnya agak susah lihat perbedaanya, atau memang mata saya saja yang belum mahir membedakan.
Adapun sedikit perbedaan yang saya rasa lensa kit Fujifilm XC lebih banyak area yang kena fokus dan tajam, dibanding TTArtisan ada sedikit yang agak blur dan kurang tajam, tapi menurut saya mungkin karena ya manual fokus nya kurang pas. (iya gak sih?)
Tapi untuk warna, rasanya gak banyak berbeda. Padahal kalau kata orang-orang warna dari TTArtisan sedikit berbeda (berbeda kearah kurang bagus), tapi dari yang saya lihat kurang lebih saja.
Catatan lain saya menggunakan aperture 5.6 karena untuk lensa kit Fujifilm yang saya punya, maksimal ada di 5.6 kalau menggunakan 50mm, jadi supaya fair saya menggunakan angka aperture yang sama untuk TTArtisan, padahal TTArtisan bisa lebih besar sampai di aperture 2 yang mana bisa membuat gambar lebih terang dan bokeh.
Akhirnya, kesampaian juga beli lensa ini, TTArtisan 50mm F2, lensa yang menurut saya kecil atau istilahnya “pancake lens”, asumsi saya akan lebih mudah digunakan di keramaian, karena gak tapi mencolok, tapi ternyata gak kecil-kecil amat :). Lensa ini bisa dibilang juga kategori murah banget, lensa entry level lah. Dengan fisik…
Akhirnya, kesampaian juga beli lensa ini, TTArtisan 50mm F2, lensa yang menurut saya kecil atau istilahnya “pancake lens”, asumsi saya akan lebih mudah digunakan di keramaian, karena gak tapi mencolok, tapi ternyata gak kecil-kecil amat :).
Lensa ini bisa dibilang juga kategori murah banget, lensa entry level lah. Dengan fisik dan apalagi harga yang murah, lensa ini jelas adalah lensa manual fokus.
Dua alasan tersebut, ukuran kecil dan harga murah, menjadi alasan utama saya memilih lensa ini. Saya masih belum merasa butuh ngeluarkan uang terlalu banyak untuk perangkat kamera dan lensa, masih merasa sebagai hobi tersier, jadi kalau bisa yang murah maka ya yang murah saja 😀
Lensa ini juga menggunakan focal length 50mm di APSC yang artinya equivalent sekitar 75-80mm untuk kamera fullframe yang mana itu masuk kategori tele yang mana jarang banget penggunanya, kecuali untuk keperluan foto portrait atau make up yang perlu fokus ke wajah saja.
Untuk yang suka foto dokumentasi kegiatan misalnya, atau pengen foto moment, biasanya lebih suka yang lebih lebar sekitar 25-35mm karena bisa nangkap objek lebih banyak.
Saya juga sebenarnya lebih suka sekitaran itu, 35mm mungkin sweet spot saya, tapi ada beberapa hal yang jadi pertimbangan saya sehingga memilih 50mm:
Dengan alasan tersebut, saya merasa lebih cocok untuk memilih 50mm. Walaupun begitu, sepertinya lensa kit bawaan kamera akan tetap dibawa terutama kalau ada kegiatan karena lensa bawaan lebih fleksibel, bisa bukaan lebar dari 16mm sampai 50mm. Jadi kalau situasi susah pakai 50mm, maka ya diganti saja.
Oh setelah membuka dan mencoba sekilas, ada beberapa kesan pertama yang saya rasakan
Saya belum sempat testing banyak foto, cuma tadi ngetest manual fokus dan ngetest hasilnya gimana, yang mana menurut saya oke aja sih.
Nantilah akan saya coba compare lensa ini dengan lensa kit bawaan, bagaimana perbedaanya.
Catatan buat diri sendiri: Menurut saya, jam kerja itu Zero-sum game. Untuk jenis pekerjaan yang bisa dikerjakan dimana saja dan kapan saja, seperti programming, saya bisa lebih fleksibel kapan saya bekerja, tapi sebenarnya secara jumlah apalagi output, jam kerjanya akan kurang lebih sama. Contohnya, saya mengerjakan pekerjaan lain di malam…
Catatan buat diri sendiri:
Menurut saya, jam kerja itu Zero-sum game. Untuk jenis pekerjaan yang bisa dikerjakan dimana saja dan kapan saja, seperti programming, saya bisa lebih fleksibel kapan saya bekerja, tapi sebenarnya secara jumlah apalagi output, jam kerjanya akan kurang lebih sama.
Contohnya, saya mengerjakan pekerjaan lain di malam hari, atau di akhir pekan, atau malam hari di akhir pekan, kelihatanya itu adalah jam kerja extra, padahal besoknya bakal teler, jenuh, dan perlu istirahat.
Jadi sama aja, gak merubah atau menambah jadi lebih produktif.
Oleh karena itu, mending kalau kerja beneran kerja, dan istirahat beneran istirahat, percuma dikejar.
Enshittification, also known as crapification and platform decay, is a pattern in which online products and services decline in quality. Initially, vendors create high-quality offerings to attract users, then they degrade those offerings to better serve business customers, and finally degrade their services to users and business customers to maximize profits for shareholders. Wikipedia Belakangan…
Enshittification, also known as crapification and platform decay, is a pattern in which online products and services decline in quality. Initially, vendors create high-quality offerings to attract users, then they degrade those offerings to better serve business customers, and finally degrade their services to users and business customers to maximize profits for shareholders.
Belakangan ini makin sering liat kata ini dipakai dimana-mana, terutama ranah teknologi dan terutama lagi kalau lagi bahas platform online dan sosial media.
Sederhananya, Enshittification adalah istilah yang diberikan untuk suatu produk, umumnya produk platform digital, yang mana tadinya bagus, memanjakan pengguna, kemudian setelah banyak penggunanya visi produk berubah dan lebih fokus dalam mencari profit karena merasa sudah punya banyak pengguna, yang mana fokus baru ini kadang bikin kesal pengguna dan malah pergi.
Contoh nyata ya Twitter, yang tadinya populer banget dan jadi pop culture, sekarang jadi tempat toxic gak jelas, penggunanya juga pada beralih ke sosial media lain, yang mana padahal media baru tersebut bisa jadi mengalami enshittification juga nantinya.
Ada banyak contoh lain di halaman Wikipedia tersebut
Enshittification juga jadi Word of the Year di kamus dari US dan Australia.
Saya beneran iseng, ada cemilan jadi sebelum tidur iseng buka Netflix dan ketemu ini, A Man on the Inside. Saya inget banget ini tokoh utamanya, Ted Danson, doi yang juga jadi tokoh utama di Good Place, yang mana saya suka juga, dan selain tokoh utama, ternyata serial ini juga diubat…
Saya beneran iseng, ada cemilan jadi sebelum tidur iseng buka Netflix dan ketemu ini, A Man on the Inside.
Saya inget banget ini tokoh utamanya, Ted Danson, doi yang juga jadi tokoh utama di Good Place, yang mana saya suka juga, dan selain tokoh utama, ternyata serial ini juga diubat oleh orang yang sama yang membuat Good Place, Mike Schur, jadi makin penasaran, dan bener, saya menikmati serial ini.
Bingewatching, gak terasa 8 episode ditonton langsung dalam sekali hadap haha 🙂
Tentu saja komedi, dan bagian relasi ortu dan anak yang ya fascinating.
Tapi setiap ngeliat “Charles” ini saya selalu kebayang Michael di Good Place, ha. Saya merasa ini seperti kehidupan Michael sebelum jadi ‘malaikat’ di Good Place :D, tipe aktor yang apapun series nya karakternya kurang lebih sama.
Terus dibagian ending ada “Janet” pula, memang lah mereka ni.
Recommended buat nonton santai
Saya melihat ada banyak orang yang jadi gak suka untuk menggunakan WordPress karena ulah pimpinannya, saya gak mengerti apakah mereka tidak tahu bahwa ada WordPress.com ada juga WordPress.org. WordPress.com adalah platform WordPress yang dikontrol langsung oleh perusahaan induknya, yang mana kita bayar tapi juga bisa kena efek langsung atas keputusan…
Saya melihat ada banyak orang yang jadi gak suka untuk menggunakan WordPress karena ulah pimpinannya, saya gak mengerti apakah mereka tidak tahu bahwa ada WordPress.com ada juga WordPress.org.
WordPress.com adalah platform WordPress yang dikontrol langsung oleh perusahaan induknya, yang mana kita bayar tapi juga bisa kena efek langsung atas keputusan perusahaan induknya, Automattic.
WordPress.org berbeda, walaupun mirip, WordPress.org membolehkan pengguna untuk mendownload full WordPress dan hosting sendiri dimanapun kamu mau, artinya lepas kontrol dari perusahaan Automattic.
Ya tentu saja bisa jadi mereka membuat batasan fitur atau kontrol ini itu, tapi selama ini gak pernah, malah yang ada WordPress.org punya fitur lebih banyak dari yang WordPress.com, kecuali mau subscribe paket yang menengah keatas.
Kalaupun gak ngerti tentang hosting dan setup server, tinggal googling “WordPress hosting Indonesia”, ada banyak provider yang menawarkan dengan harga yang murah.
Blog ini misalnya, saya cuma bayar Rp. 12,500 perbulan + harga domain Rp. 55,000 per tahun.
Saya gak perlu setup server, dan lain-lain. Cuma perlu daftar, bayar tinggal posting.
Tapi tetap saja, pimpinan WordPress mulai gak bener
iya, tapi kalau saya pribadi gak begitu masalah karena ya itu tadi saya tidak secara langsung menggunakan layanan perusahaan dan membayar kesana, dan masalah mereka adalah murni urusan bisnis antar perusahaan kompetitor.
Sedangkan yang saya gunakan produk open source yang dikontrol banyak orang dan ya sampai sejauh ini belum ada efek negatif dari keputusan Automattic ke produk WordPress.org, jadi ya saya merasa tidak ada masalah.
Menarik, karena 2 hal: Jujurnya, saya jadi pengen iseng, dan melihat apa kelanjutannya.
Menarik, karena 2 hal:
Jujurnya, saya jadi pengen iseng, dan melihat apa kelanjutannya.
Sambil browsing-browsing kamera, yang mana ternyata mahal 🙂 tapi ada banyak juga kamera yang umurnya 10 tahunan, kamera saya sendiri, Fujifilm XA-2, sudah 8-9 tahun, yang mana menurut saya cukup wah, karena masih bisa dipakai normal gak ada masalah, yeah kamera lebih baru punya pixel lebih besar, auto fokus lebih…
Sambil browsing-browsing kamera, yang mana ternyata mahal 🙂 tapi ada banyak juga kamera yang umurnya 10 tahunan, kamera saya sendiri, Fujifilm XA-2, sudah 8-9 tahun, yang mana menurut saya cukup wah, karena masih bisa dipakai normal gak ada masalah, yeah kamera lebih baru punya pixel lebih besar, auto fokus lebih cepat, tapi bukan berarti kamera lama jadi gak bisa dipakai.
Ini tidak seperti ‘gadget’ kebanyakan, laptop bisa syukur banget kalau bertahan sampai 10 tahun, atau malah 5 tahun aja uda bagus. Laptop terakhir saya tahan 10 tahun sih, macbook 2012, tapi sudah kerasa banget load kerja nya menjadi lebih lambat, sampai saya nyerah dan install Ubuntu untuk tetap bisa dipakai hingga total 10 tahun, sampai akhirnya beneran mati karena ada masalah fisik.
Apalagi handphone, smartphone, fisiknya yang fullscreen sudah sangat lah rentan, baterai model tanam jadi sedikit lebih susah untuk memperpanjang usia smartphone.
Salah satu yang jadi perbedaan gadget tersebut dengan kamera menurut saya adalah software, kamera bisa dibilang jarang banget ada update software, sedangkan laptop dan smartphone dapat update software terus, yang mana harusnya jadi dampak bagus, tapi software update kadang perlu lebih banyak resources, jadi perlu hardware update, jadi kalau hardware nya (dalam hal ini laptop dan smartphone) gak diupdate, maka kewalahan jalanin update software terbaru.
Belum termasuk software tambahan, game tambahan, yang makin kesini makin baik yang berarti perlu lebih banyak resources, jadilah hardware ‘jadul’ semakin terasa ketinggalan.
Lebih parah lagi beberapa gadget “smart” yang sebenarnya gak perlu update software, gak perlu software tambahan, tapi tetap saja kena masalah ini.
Contohnya printer (HP) dan smartband (xiaomi) saya yang harusnya ya gak perlu software update dll, cuma punya 1 fungsi, dan gak ada perubahan kebutuhan, tapi baru 2-3 tahun sudah punya beberapa masalah.
Jadi makin kesini elektronik semakin canggih dan “pintar”, tapi sifat daya tahannya malah makin menurun, sangat disayangkan karena sebenarnya gadget-gadget yang tergolong “tua” itu sebenarnya masih bisa berguna tapi software yang meminta resource lebih membuatnya jadi tidak berguna dan menjadi sampah elektronik.
RSS basically works like social media should work. Using RSS is a chance to visit a utopian future in which the platforms have no power, and all power is vested in publishers, who get to decide what to publish, and in readers, who have total control over what they read and how,…
RSS basically works like social media should work. Using RSS is a chance to visit a utopian future in which the platforms have no power, and all power is vested in publishers, who get to decide what to publish, and in readers, who have total control over what they read and how, without leaking any personal information through the simple act of reading.
Tulisan yang bagus dan lengkap tentang penggunaan RSS.
Tapi harus diakui, RSS punya ‘sedikit’ masalah:
Semua hal toxic dari sosial media yang ironisnya merupakan sumber penghasilan untuk sebuah platform terutama sosial media.
Oleh karena ini, walaupun RSS sudah standard sejak lama, dan mudah dalam penerapan, akan susah untuk jadi mainstream, karena ya platform besar gak akan mensupport sistem ini, karena ya susah untuk dimonetasi.
In this respect, the well-known joke is “PHP is bad.” But there’s no reasoning behind it anymore – the closest someone will probably give as an explanation is a massive rambling blog post written years ago about many, many things that you will never encounter or are only an annoyance to its…
In this respect, the well-known joke is “PHP is bad.” But there’s no reasoning behind it anymore – the closest someone will probably give as an explanation is a massive rambling blog post written years ago about many, many things that you will never encounter or are only an annoyance to its author.
https://developer.vonage.com/en/blog/php-is-legacy-in-2024
Tulisan yang super lengkap, saya pengen banget nulis tentang PHP dan mematahkan opini tentang PHP di 202X, tapi saya gak secemerlang itu 😅
Tapi kalau memang akan menulis, maka ya seperti ini vibe nya.
Salah satu projek saya adalah membuat aplikasi pembelian tiket perjalanan kapal, yang mana salah satu fiturnya adalah mencetak QR code pada tiket perjalanan. Karena saya menggunakan Laravel, maka opsi paling pasti adalah menggunakan package simplesoftwareio/simple-qrcode. Selanjutnya hanya perlu membaca panduan dari package tersebut disni https://github.com/SimpleSoftwareIO/simple-qrcode, sayangnya sepertinya projek, repository, dan…
Salah satu projek saya adalah membuat aplikasi pembelian tiket perjalanan kapal, yang mana salah satu fiturnya adalah mencetak QR code pada tiket perjalanan. Karena saya menggunakan Laravel, maka opsi paling pasti adalah menggunakan package simplesoftwareio/simple-qrcode
.
composer require simplesoftwareio/simple-qrcode
Selanjutnya hanya perlu membaca panduan dari package tersebut disni https://github.com/SimpleSoftwareIO/simple-qrcode, sayangnya sepertinya projek, repository, dan website resminya sudah gak dirawat, ada banyak issue dan PR yang tidak dihandle, halaman dokumentasinya saja sudah tidak bisa diakses, tapi saya berhasil menemukannya melalui web archive, jadi untuk full dokumentasi bisa diakses disini https://web.archive.org/web/20240221193114/http://www.simplesoftware.io/#/docs/simple-qrcode
Penggunaanya cukup mudah, saya bahkan menggunakanya langsung di template Blade didalam tag <img />.
<img src="data:image/jpg;base64,{!! base64_encode(QrCode::format('png')->generate($manifest->code)) !!}">
Tapi ada sedikit masalah, gambar yang dihasilkan sebenarnya sudah oke dan tidak ada masalah untuk keperluan tampil pada layar smartphone, atau monitor laptop, tapi karena ini untuk keperluan tiket yang mana dicetak fisik, maka tampilannya sedikit kacau, dan sering tidak bisa di-scan.
Sayangnya dicari bagaimanapun saya tidak menemukan cara untuk membuat ini menjadi lebih baik. Ada banyak package lain tapi sebenarnya semua menggunakan sumber package QR code yang sama, jadi ya sama saja.
Tapi hari ini saya menemukan cara untuk memperbaiki masalah ini yaitu dengan cara memperbesar gambarnya tapi menampilkan secara kecil, eh gimana sih ya.. intinya secara koding gini:
<img src="data:image/jpg;base64,{!! base64_encode(QrCode::size(300)->margin(1)->format('png')->generate($manifest->code)) !!}" style="position: relative; top: -30px" width="100">
Jadi QR code saya set untuk menghasilkan ukuran menjadi 300, tapi saya tampilkan dengan ukuran 100, hasilnya gambarnya jadi lebih tajam, lebih mudah terbaca, dan untuk saat ini punya keberhasilan scan lebih tinggi.
Dengan begini keperluan scan QR code penumpang perjalanan dapat berjalan lebih cepat dan lancar.
POSSE adalah singkatan dari “Publish (on your) Own Site, Syndicate Everywhere”, atau pada dasarnya posting sekali di web personal mu lalu share di tempat lain, termasuk sosial media. POSSE is an abbreviation for Publish (on your) Own Site, Syndicate Elsewhere, the practice of posting content on your own site first, then publishing copies or…
POSSE adalah singkatan dari “Publish (on your) Own Site, Syndicate Everywhere”, atau pada dasarnya posting sekali di web personal mu lalu share di tempat lain, termasuk sosial media.
POSSE is an abbreviation for Publish (on your) Own Site, Syndicate Elsewhere, the practice of posting content on your own site first, then publishing copies or sharing links to third parties (like social media silos) with original post links to provide viewers a path to directly interacting with your content.
Dengan semakin banyak sosial media, terus juga pelajaran dari Twitter dimana pada satu titik sebuah platform bisa berubah 360 derajat sesuai keinginan pemilik platform, maka perlu sebuah tempat yang bisa kita kontrol sendiri namun juga tetap bisa memanfaatkan jaringan pengguna di sosial media yang tersebar di berbagai platform.
Belakangan banyak terjadi gelombang pengungsian pengguna sosial media ke platform baru seperti Thread, Mastodon (dengan berbagai servernya), lalu Bluesky. Kalau saya bilang ini orang-orang masih tes ombak mencari mana yang lebih pas untuk bernaung, jadi masih pada gak jelas memang, semua dicoba.
Tapi satu yang pasti, pada akhirnya kemungkinan akan sama saja, VC yang mendanai platform tersebut akan mengambil kontrol dan membentuk platform sesuai keinginan.
Jadi daripada memilih mana, lalu mulai ‘terjebak’, maka saya pribadi merasa mending balik ke personal website, atau istilahnya blog, microblog, atau apapun dimana ya bisa kontrol sendiri. Disitu POSSE terlihat lebih masuk akal.
Saya sendiri ini menggunakan self-host WordPress, dan POSSE sangat mudah dilakukan karena sudah terdapat plugin seperti Jetpack, yang akan membantu auto-sharing tulisan baru saya ke berbagai platform sosial media.
Jadi saya tetap bisa posting seperti biasa disini, saya bisa kontrol, backup dan simpan tulisan saya, tapi juga otomatis di share ke sosial media yang saya pilih, dalam hal ini saya setting untuk Threads, Mastodon dan Bluesky.
Ada gak enaknya sih, tiap platform punya beda gaya dan juga kalau autopost gini kurang engage dengan komunitasnya, tapi.. saya gak begitu peduli juga, kaerna ya saya juga memang gak aktif di sosial media, jadi ya sudah lah..
Tulisan dari The Verge ini bagus banget mengenai hal ini
The idea is that you, the poster, should post on a website that you own. Not an app that can go away and take all your posts with it, not a platform with ever-shifting rules and algorithms. Your website. But people who want to read or watch or listen to or look at your posts can do that almost anywhere because your content is syndicated to all those platforms.
Ha, sama sekali gak mengira bakal ada live action dari salah satu film animasi favorit 🙂 Bagian Hiccup ketemu Toothless pertama kali itu asli seperti versi animasinya.
Ha, sama sekali gak mengira bakal ada live action dari salah satu film animasi favorit 🙂
Bagian Hiccup ketemu Toothless pertama kali itu asli seperti versi animasinya.
Sebulan setelah saya ketemu anak dari kucing saya bulan lalu, sekarang anak-anak kucing tersebut sudah pada meninggal 😿 Padahal asik banget ngeliat kebiasan induk kucing kalau lagi ngurus anaknya, beneran peduli banget, beneran berdiem diri di halaman belakang, ya ada masanya keluar tapi habis itu cepat balik dan ngumpul lagi.…
Sebulan setelah saya ketemu anak dari kucing saya bulan lalu, sekarang anak-anak kucing tersebut sudah pada meninggal 😿
Padahal asik banget ngeliat kebiasan induk kucing kalau lagi ngurus anaknya, beneran peduli banget, beneran berdiem diri di halaman belakang, ya ada masanya keluar tapi habis itu cepat balik dan ngumpul lagi.
Kalau cuaca lagi panas atau hujan, induknya bakal mindahin tuh anak-anaknya, lucu banget.
Tapi ya gitu, mungkin saya yang kurang peduli, anak-anaknya pada meninggal, satu persatu.
Pertama, dua anaknya meninggal, tapi memang dari awal keliatanya agak gak normal, jadi begitu meninggal saya gak begitu kaget dan ya sudah saya kubur, besok harinya si induk ngeraung-raung, mode senggol bacok, gak tau apakah itu terkait anaknya hilang dua ekor atau gimana.
Besoknya lagi, satu meninggal lagi, yang satu ini agak sehat, tapi ya gak tau deh kenapa, yasudah dikubur lagi, tapi kali ini biasa aja induknya. Hanya saja, si induk nempel mulu sama si anak terakhir yang tinggal satu-satunya (total ada 4 anak kucing).
2-3 hari setelah itu, anak terakhir akhirnya meninggal juga, tapi yang satu ini agak susah buat dikubur, soalnya si induk gak mau lepasin, dipeluk dan ditidurin aja terus itu si anak kucing, padahal sudah gak gerak setengah harian. Akhirnya dipancing menjauh baru pergi dan segera deh saya kubur lagi.
Besoknya lagi, si induk masih tidur ditempat terakhir waktu sama anak terakhirnya, kalaupun pergi sambil “ngoceh”, mungkin dikira anaknya lagi keliaran terus dengan bersuara ngoceh biar kalau ada anaknya bisa denger dan datang.
Puss, mereka sudah gak ada puss.
Jika diasumsikan perangkat elektronik Apple tersebut rata-rata dijual dengan harga Rp 5 juta per unit di dalam negeri, maka nilai penjualan untuk satu tahun mencapai Rp 19 triliun. “Ironisnya, dengan nilai penjualan sangat tinggi tersebut, mereka sangat sulit untuk merealisasikan 100 persen komitmen investasi senilai Rp 1,7 triliun selama delapan…
Jika diasumsikan perangkat elektronik Apple tersebut rata-rata dijual dengan harga Rp 5 juta per unit di dalam negeri, maka nilai penjualan untuk satu tahun mencapai Rp 19 triliun.
“Ironisnya, dengan nilai penjualan sangat tinggi tersebut, mereka sangat sulit untuk merealisasikan 100 persen komitmen investasi senilai Rp 1,7 triliun selama delapan tahun di Indonesia,” jelas Febri.
Modal Rp 1,7 Triliun, Apple Bisa Dapat Rp 19 Triliun Setahun dari Indonesia
Saya sudah baca sebelumnya bahwa investasi Rp. 1,7 Triliun itu sangat kecil dibanding investasi di negara seperti Vietnam.
Tapi saya tidak menduga kalau bahkan dibandingkan dengan penjualan tahunan, investasi tersebut kecil banget!
A social web with a beginning and an end. Nothing gets thrown at me by a stupid algorithm. There are no ads, no intrusions. No recommendations. Only content. Only GREAT content. Written by human beings who care about the content they create. An appreciation of the “mark all as read”…
A social web with a beginning and an end. Nothing gets thrown at me by a stupid algorithm. There are no ads, no intrusions. No recommendations. Only content. Only GREAT content. Written by human beings who care about the content they create.
An appreciation of the “mark all as read” button
Ini bener banget, tidak ada iklan, tidak ada rekomendasi pos, tidak ada algoritma yang menjerat, tidak ada “virality” atau “trending topic”, di RSS yang tampil hanya konten yang beneran kamu pilih, tampil berdasarkan urutan waktu, tidak ada gimik, konten dan konten, titik.
Sebagai tambahan, selain manual sync dan “mark all as read” button, saya juga suka RSS reader yang punya fitur “mark as read when scroll” atau gimana ya bahasa aslinya, intinya kalau list nya panjang dan sudah di-“scroll”, maka otomatis ditandai sudah dibaca, ini membantu banget kalau list nya agak banyak dan gak begitu menarik untuk dibaca, sayangnya gak semua RSS reader punya fitur ini.
Ahh akhirnya album baru rilis, sudah nge-hype sejak beberapa waktu lalu waktu lagu The Emptiness Machine keluar dan sekarang sudah ada full album nya. Full playlist bisa dilihat disini https://www.youtube.com/playlist?list=OLAK5uy_llu148Ny0qF6bSApqzcVOQ9MaiCYySEG8 Beberapa lagu seperti The Emptiness Machine, Two Faced, Heavy Is the Crown, dan Cut the Bridge bener-bener membawa ke masa…
Ahh akhirnya album baru rilis, sudah nge-hype sejak beberapa waktu lalu waktu lagu The Emptiness Machine keluar dan sekarang sudah ada full album nya.
Full playlist bisa dilihat disini https://www.youtube.com/playlist?list=OLAK5uy_llu148Ny0qF6bSApqzcVOQ9MaiCYySEG8
Beberapa lagu seperti The Emptiness Machine, Two Faced, Heavy Is the Crown, dan Cut the Bridge bener-bener membawa ke masa lalu zaman Hybrid Theory dan Meteora.
Karena suatu alasan saya akhirnya bikin siniar, dan per hari ini episodenya udah sampe mencapai 30 episode wkwkwk. ya jadi bisa dibilang saya aktif ngisi konten audio selama 1 bulan belakangan ini. Memutuskan aktif bikin podcast Ha, baru membaca salah satu postingan dari Mas Okky yang sekarang ternyata aktif bikin…
Karena suatu alasan saya akhirnya bikin siniar, dan per hari ini episodenya udah sampe mencapai 30 episode wkwkwk. ya jadi bisa dibilang saya aktif ngisi konten audio selama 1 bulan belakangan ini.
Memutuskan aktif bikin podcast
Ha, baru membaca salah satu postingan dari Mas Okky yang sekarang ternyata aktif bikin podcast. Podcast nya bisa diakses di Spotify.
Jadi inget postingan Pak Budi Rahardjo yang bilang menulis blog memang sedikit lebih susah dibanding bikin podcast, walaupun mungkin akan lebih mudah buat Pak Budi kalau podcast nya audio saja daripada YouTube karena mesti pakai edit video loh pak 🙂
Terkait podcast, saya tu melihat ada banyak podcast menarik untuk diikuti, tapi gak tau kenapa saya gak bisa menemukan momen yang pas untuk dengerin podcast, karena rasanya perlu duduk diem buat bisa dengerin dengan jelas, kalau disambil-sambil itu susah dengerinnya. Mungkin memang saya bukan tipe audio ya.