Malam minggu ini kami nyobain camping, gak jauh-jauh dan gimana-gimana, cuma di halaman belakang rumah saja 😀 maklum baru pertama, jadi kalau kenapa-kenapa bisa kabur ke rumah 🙂 Ternyata bener, si anak lagi batuk-batuk, jadi menjelang subuh pada ngungsi ke rumah, saya sama si anak yang paling tua tetep stay.…
Malam minggu ini kami nyobain camping, gak jauh-jauh dan gimana-gimana, cuma di halaman belakang rumah saja 😀 maklum baru pertama, jadi kalau kenapa-kenapa bisa kabur ke rumah 🙂
Ternyata bener, si anak lagi batuk-batuk, jadi menjelang subuh pada ngungsi ke rumah, saya sama si anak yang paling tua tetep stay.
Secara teori bener, tendanya cukup untuk 4 orang, tapi prakteknya ruang oksigen gak cukup untuk 4 orang, sumpek.
For sure will try again, mungkin ditempat camping beneran.
Berhubung handphone diganti, maka saya mulai melakukan migrasi (pada dasarnya cuma pindahin backup Whatsapp), lalu mulai instal aplikasi yang saya butuhkan. Setelah saya rinci, ternyata ada beberapa aplikasi yang must have menurut keperluan saya. Whatsapp Tentu saja, ini yang paling pertama. Saya rasa semua kontak saya menggunakan Whatsapp untuk nelpon…
Berhubung handphone diganti, maka saya mulai melakukan migrasi (pada dasarnya cuma pindahin backup Whatsapp), lalu mulai instal aplikasi yang saya butuhkan. Setelah saya rinci, ternyata ada beberapa aplikasi yang must have menurut keperluan saya.
Whatsapp
Tentu saja, ini yang paling pertama. Saya rasa semua kontak saya menggunakan Whatsapp untuk nelpon dan berkirim pesan, sudah kewajiban banget untuk punya ini.
Slack
Slack digunakan untuk ngobrol urusan kantor, walaupun saya jarang sih menggunakan di handphone karena ya biasanya cukup di laptop/pc, tapi ya berguna juga kalau lagi diluar atau lagi away dari laptop.
Authy
Saya pakai Authy untuk keperluan Autentikasi Multifaktor (MFA) untuk login ke sebagian besar website yang saya sering gunakan.
Gopay
Saya seneng banget sama Gopay, sudah mengcover semua urusan transaksi keuangan, aplikasinya ringan, mendukung banyak jenis transaksi, QRIS nya cepet, bisa menggunakan kartu kredit dan sekarang malah ada Gopay tabungan. Enak banget dah, dulunya saya suka OVO tapi makin kesini makin banyak hal gak penting (promo) di aplikaisnya dan sudah ada biaya layanan pula, Gopay is TOP.
Feedly
Feedly adalah aplikasi yang saya gunakan untuk membaca RSS, bisa baca tulisan saya sebelumnya tentang Feedly dan RSS. Untuk kebanyakan orang, Feedly adalah sosial media buat saya.
Jetpack
Jetpack adalah aplikasi yang saya gunakan untuk posting di blog saya ini. Idenya seperti aplikasi sosial media, jadi ya kalau mau posting ke internet saya memilih posting di Jetpack untuk masuk ke blog saya daripada ke sosial media.
Rasanya cuma itu saja yang saya install dan perlu pakai banget. Ada beberapa aplikasi lain yang juga esensial untuk saya tapi gak saya instal karena sudah ada secara default atau sudah saya install di gadget lain.
Youtube, Youtube Music
Saya suka nonton Youtube, beneran. Saya subscribe premium dan dapet sekalian Youtube Music, jadilah kombinasi entertainment multimedia buat saya.
Google Photos
Semua foto saya dari tahun 2002 ada di Google Photos, semua saya backup disitu. Seringkali saya dan anak-anak cuma duduk scroll ke bawah ke masa lalu di Google photos untuk melihat-lihat memori lama.
Google Chrome
Web browser handphone Android, saya merasa harusnya gak perlu di list ya, tapi ya sudah lah. Saya prefer Google Chrome dibanding web browser lain karena bisa sync history dengan laptop saya.
Jago
Saya nasabah Bank Jago, jadi ya pakai aplikasi Jago, tapi saya hanya install di tablet Android saya yang gak pernah saya bawa kemana-mana, saya merasa lebih aman daripada menginstal aplikasi ini di handphone yang saya bawa kemana-mana yang bisa jadi ketinggalan/hilang/rusak/dicuri.
Bitwarden
Password manager, jarang sih dipakai untuk kebutuhan harian, biasanya juga pakai yang versi laptop, tapi tetap saya install di tablet android supaya kalau ada apa-apa saya tetap bisa akses cepat.
Trimegah, IPOT, Bibit
Aplikasi investasi gini saya install di tablet android juga, gak saya bawa kemana-mana. Karena ya tadi, faktor keamanan dan juga gak tiap hari ini melakukan investasi.
Jadi ya beberapa aplikasi sangat esensial sehingga saya install di handphone yang saya bawa kemana-mana. Tapi ada juga aplikasi esensial yang saya merasa gak perlu dibawa kemana-mana karena jarang dipakai dan juga akan lebih aman kalau stay di rumah saja.
Belum sempat cerita banyak setelah “Upgrade” handphone, jadi akhirnya saya ganti handphone yang seharusnya ya upgrade, tapi setelah 3 hari pemakaian, rasanya sama saja, jadi gak berasa upgrade 😀 Saya memilih Redmi 13 karena ya syarat handphone baru saya harus dibawah 2 juta. Ini adalah harga yang saya set sendiri…
Belum sempat cerita banyak setelah “Upgrade” handphone, jadi akhirnya saya ganti handphone yang seharusnya ya upgrade, tapi setelah 3 hari pemakaian, rasanya sama saja, jadi gak berasa upgrade 😀
Saya memilih Redmi 13 karena ya syarat handphone baru saya harus dibawah 2 juta. Ini adalah harga yang saya set sendiri dengan beberapa pertimbangan sebagai berikut:
Saya lebih sering aktif di laptop/pc/tablet, jadi jarang menggunakan handphone.
Harga handphone masuk kategori harga barang yang seandainya barangnya hilang/jatuh/rusak, maka ya sudahlah.
Sudah memiliki fitur dasar yang saya butuhkan (kamera yang gak jelek, sidik jari, ada NFC).
Sebelumnya malah saya prefer yang 1jt lebih dikit, tapi terakhir saya beli (Redmi 9C & Asus apa gitu) sangat-sangat lambat sekali, padahal cuma saya install Whatsapp dan Slack :/ jadi ya naik sedikit rentang harganya.
Jadi ya utamanya karena harga, selebihnya tidak begitu jadi pertimbangan.
Sebelumnya saya menggunakan Redmi note 9 yang mana sebenarnya adalah milik ortu yang dibeli tahun 2019 dan sudah rusak dan servis kesana kemari beberapa kali, dan berakhir di saya.
Sesungguhnya, tidak ada masalah dengan Redmi note 9 tadi, hanya saja belakangan suka restart dan mati sendiri, dan karena sudah bertahun jadi ya sekalian “upgrade” ke Redmi 13, bukan yang versi Note sih. Karena sudah beda 4 generasi, saya pikir saya akan merasakan “upgrade”, tapi ternyata gak juga.
3 hari ini memang kerasa lebih lancar, tapi saya pikir ini karena ya belum banyak aktifitas/cache/sampah, jadi ya lancar saja.
Masalah lain adalah kamera, saya mungkin terlena dengan Redmi note 9 dimana ada menu “pro” yang pada dasarnya adalah fitur untuk manual setting kamera seperti shutter speed, fokus, auto white balance, dan lainnya. Redmi 13 ini gak ada! apa karena bukan versi “Note” ya.
Oh, ngobrolin kamera, Redmi 13 ini fitur unggulannya adalah kamera 108 megapixel, yang mana… gak berasa juga, bukti bahwa nomor megapixel di handphone itu gak ngaruh banyak.
Suara juga agak sedikit berbeda, agak “cempreng” dikit, pecah. Redmi note 9 punya suara yang lebih kalem.
Jadi gak begitu berasa upgradenya, paling yang kerasa cuma sekarang lebih sat set (semoga begitu terus sampai beberapa waktu kedepan), punya NFC yang mana buat tap emoney (ribet banget itu), dan ya karena barangnya baru jadi lancar tidak mengalami restart secara acak.
Tapi jadi kaget juga, ternyata beda 4 generasi gak begitu ngaruh, entah apakah memang Redmi 9 versi Note itu oke banget sampai bisa bersaing 4 generasi, atau Redmi 13 ini yang memang gak bawa peningkatan. Makin jadi bahan pertimbangan untuk tidak melakukan upgrade barang elektronik terutama handphone kalau cuma rentang waktu 3-4 tahun.
Kemarin main ke salah satu playground random yang ada di Big Mall Samarinda. Random karena ini baru pertama kali juga kesitu dan gak inget namanya. Dibanding dengan Kidzoona atau Playtopia yang juga ada di mall yang sama, ya memang berbeda, apalagi keduanya kan memang alal “franchise” jadi memang ada standard…
Kemarin main ke salah satu playground random yang ada di Big Mall Samarinda. Random karena ini baru pertama kali juga kesitu dan gak inget namanya. Dibanding dengan Kidzoona atau Playtopia yang juga ada di mall yang sama, ya memang berbeda, apalagi keduanya kan memang alal “franchise” jadi memang ada standard dan secara harga juga beda. Tapi si anak-anak pengen nyoba yang baru memang, jadi ya mampir lah.
Tentu saja sekalian nyobain lensa TTArtisan lagi, dan bener enak sih sat set sat set waktu jepret, tapiii begitu sampai rumah, masukkan ke laptop, duh, banyak yang gak fokus haha.
Dari awal memang sudah menduga, akan susah ni bawa manual fokus untuk kegiatan ala playground gini yang mana si “objek” bakal kesana kemari, tapi ya disitu tantangannya, dan ya ternyata lumayan banyak yang salah fokus.
Tapi surprisingly, panjang fokus (focal length) 50mm gak begitu bermasalah dan malah membantu, seperti biasa saja, saya pikir bakal susah untuk mengatur jarak tapi gak.
CodeWP: An AI Assistant For WordPressers. Menarik, tapi tidak begitu mengagetkan karena memang sekarang memang trend nya begitu, ChatGPT untuk X, dan ya memang backend nya ChatGPT juga. Tapi ya tetap saja menarik, bisa ini dipakai untuk bantu bikin plugin-plugin sederhana sesuai kebutuhan. Plugin untuk keperluan yang terlalu receh untuk bikin sendiri…
Menarik, tapi tidak begitu mengagetkan karena memang sekarang memang trend nya begitu, ChatGPT untuk X, dan ya memang backend nya ChatGPT juga.
Tapi ya tetap saja menarik, bisa ini dipakai untuk bantu bikin plugin-plugin sederhana sesuai kebutuhan. Plugin untuk keperluan yang terlalu receh untuk bikin sendiri tapi kalau pakai custom plugin terlalu kompleks.
WordPress salah satu yang mudah untuk minta bantuan AI tools gini karena dokumentasi nya lengkap banget dan backward compatibility alias kode atau best practice dari bertahun-tahun lalu kemungkinan besar masih bisa dipakai hingga hari ini, jadi ya tetap terpakai dan relevan.
Google Photos juga punya 2024 recap, isinya tentang apa aja foto yang diambil di tahun 2024. Ada animasi yang menunjukkan jumlah foto yang senyum, ada top 4 wajah yang sering difoto, ada warna yang sering difoto, ada vibes dan ‘tema’ tahun 2024 ini. Menarik, tapi tidak seperti Spotify yang orang-orang…
Google Photos juga punya 2024 recap, isinya tentang apa aja foto yang diambil di tahun 2024.
Ada animasi yang menunjukkan jumlah foto yang senyum, ada top 4 wajah yang sering difoto, ada warna yang sering difoto, ada vibes dan ‘tema’ tahun 2024 ini.
Menarik, tapi tidak seperti Spotify yang orang-orang jadi senang untuk sharing, Google photos agak susah untuk di share karena kebanyakan isinya foto pribadi 😀 Jadi paling cuma share sama istri doang.
2 hari ini melakukan re-work salah satu projek kerjaan, karena saya merasa overcomplicated daripada seharusnya. Jadi saya nyobain menggunakan Laravel Livewire untuk salah satu kerjaan, dan ternyata ribet asli, terlalu banyak magic, terlalu banyak trik yang diluar kebiasan web development normal, terlalu banyak menghabiskan waktu buka dokumentasi yang kadang tidak…
2 hari ini melakukan re-work salah satu projek kerjaan, karena saya merasa overcomplicated daripada seharusnya.
Jadi saya nyobain menggunakan Laravel Livewire untuk salah satu kerjaan, dan ternyata ribet asli, terlalu banyak magic, terlalu banyak trik yang diluar kebiasan web development normal, terlalu banyak menghabiskan waktu buka dokumentasi yang kadang tidak menjawab pertanyaan, Googling juga tidak membantu kalau ada masalah, dan kalau ada error penjelasan error juga tidak dapat dimengerti.
Dipikir-pikir lagi, pembelian lensa TTArtisan 50mm kemarin kok berasa agak kurang recommended ya.. Beberapa hal yang agak jadi pertimbangan untuk tidak recommend: Walaupun begitu, ada juga yang bagian dimana saya suka, Apalagi ya, itu aja sih. Ada masalah lain sih seperti 50mm itu ternyata beneran jauh, ada memang saat dimana…
Dipikir-pikir lagi, pembelian lensa TTArtisan 50mm kemarin kok berasa agak kurang recommended ya..
Beberapa hal yang agak jadi pertimbangan untuk tidak recommend:
Berat, jadi kerasa eh kalau lagi pegang kamera
Manual fokus, tentu saja ini wajar dengan harganya, tapi saya gak masalah sebenarnya, jadi masalah kalau istri atau temen nyoba pinjem, gak biasa dia manual fokus.
Walaupun begitu, ada juga yang bagian dimana saya suka,
Ukuran lebih kecil, walaupun sedikit saja perbedaanya, tapi kerasa dan jadi bisa masuk ke tas slempang.
Manual fokus, ya ini bikin ribet, tapi untuk kamera saya yang agak lambat auto fokusnya, manual fokus malah bikin lebih cepet buat jepret. Cuma ya tadi kalau ada yang pinjem jadi ribet.
Apalagi ya, itu aja sih. Ada masalah lain sih seperti 50mm itu ternyata beneran jauh, ada memang saat dimana saya prefer jarak jauh gini, tapi rasanya lensa 27-35 akan lebih multifungsi.
Tentu saja banyak yang pilih TTartisan karena murah, tapi benernya untuk FujiFilm mending beli lensa kit second deh, harganya kurang lebih paling beda 100ribu, tapi lebih fleksibel karena focal length nya variasi, misal yang 16-50 jadi bisa 1 lensa untuk segala kebutuhan, sudah autofocus juga, dan ya gambarnya lebih tajam.
Berapa banyak Alfamidi/Alfamart sepanjang jalan menuju sekolah/kantor mu? Sepanjang perjalanan mengantar anak saya sekolah, ketemu 6 Alfamidi/Alfamart. Sekalian testing lensa TTArtisan. Ternyata 50mm kerasa banget eh jauhnya haha, semua foto diambil dari seberang jalan raya. Tapi karena menggunakan Zone Focusing, beneran kerasa seperti kamera point and shoot, cuma perlu arahin…
Ternyata 50mm kerasa banget eh jauhnya haha, semua foto diambil dari seberang jalan raya.
Tapi karena menggunakan Zone Focusing, beneran kerasa seperti kamera point and shoot, cuma perlu arahin dan cekrek, gak menunggu autofocus dan gak perlu kuatir autofocus salah fokus.
the best camera is the one you have with you. Ungkapan lama yang selalu benar 🙂 Percuma bagus-bagus kamera, kalau pas lagi mau digunakan malah ketinggalan. Tau yang lebih parah? Sudah bawa kamera, memory nya ketinggalan :’)
Berhubung sekarang lagi menggunakan lensa manual fokus di kamera, jadi cari tahu dan belajar gimana caranya biar bisa fokus dengan lebih cepat dan tepat. Tadinya saya pikir bakal ribet karena ya mesti muter focus ring tiap mau foto, ternyata gak harus begitu, ada istilah Zone focus. Zone focus arti kasarnya…
Berhubung sekarang lagi menggunakan lensa manual fokus di kamera, jadi cari tahu dan belajar gimana caranya biar bisa fokus dengan lebih cepat dan tepat. Tadinya saya pikir bakal ribet karena ya mesti muter focus ring tiap mau foto, ternyata gak harus begitu, ada istilah Zone focus.
Zone focus arti kasarnya mengatur kamera supaya fokus ke area (zone) dengan jarak tertentu. Jadi misal setting supaya fokus di jarak sekitar 2 sampai 5 meter, artinya apapun yang ada di dalam area itu akan fokus, makin ketengah makin fokus dan tajam.
Zone focus bisa membantu untuk membuat kamera lebih cepat dalam mengatur fokus karena ya apapun yang ada dalam area akan fokus, jadi gak perlu delay karena kamera harus nyari fokus dulu, walaupun ya kamera makin kesini makin canggih dan cepat dalam mencari fokus (tergantung kamera, yang pasti bukan kamera saya :D).
Di YouTube ada banyak yang bahas detail teknikal untuk mengerti dan mengetahui bagaimana zone fokus bekerja yang mana menurut saya akan lebih mudah dijelaskan dalam format video.
Berikut beberapa diantara banyak video yang sudah saya tonton dan menurut saya cukup detail dan mudah dimengerti.
Masalah berikutnya: saya gak bisa mengira-ngira jarak dalam meter 😀
Kali ini mau compare sedikit antara lensa TTArtisan 50mm F2 yang baru datang kemarin vs Lensa kit Fujifilm XC 16-55mm bawaan kamera. Ini bukan perbandingan yang penuh scientific dan perhitungan yang gimana-gimana, beneran jepret objek yang sama dengan setting yang sama. Perbedaannya hanya untuk TTArtisan saya menggunakan manual fokus sedangkan…
Kali ini mau compare sedikit antara lensa TTArtisan 50mm F2 yang baru datang kemarin vs Lensa kit Fujifilm XC 16-55mm bawaan kamera.
Ini bukan perbandingan yang penuh scientific dan perhitungan yang gimana-gimana, beneran jepret objek yang sama dengan setting yang sama. Perbedaannya hanya untuk TTArtisan saya menggunakan manual fokus sedangkan Lensa kit saya pakai fitur autofocus nya, sedangkan settingan exposure triangle, film simulation dan lainnya sama.
Semua gambar disusun yang kiri adalah TTArtisan 50mm dengan aperture 5.6 sedangkan yang kanan adalah lensa kit Fujifilm XC menggunakan focal length 50mm dan aperture 5.6.
Klik untuk perbesar gambar.
Jujurnya agak susah lihat perbedaanya, atau memang mata saya saja yang belum mahir membedakan.
Adapun sedikit perbedaan yang saya rasa lensa kit Fujifilm XC lebih banyak area yang kena fokus dan tajam, dibanding TTArtisan ada sedikit yang agak blur dan kurang tajam, tapi menurut saya mungkin karena ya manual fokus nya kurang pas. (iya gak sih?)
Tapi untuk warna, rasanya gak banyak berbeda. Padahal kalau kata orang-orang warna dari TTArtisan sedikit berbeda (berbeda kearah kurang bagus), tapi dari yang saya lihat kurang lebih saja.
Catatan lain saya menggunakan aperture 5.6 karena untuk lensa kit Fujifilm yang saya punya, maksimal ada di 5.6 kalau menggunakan 50mm, jadi supaya fair saya menggunakan angka aperture yang sama untuk TTArtisan, padahal TTArtisan bisa lebih besar sampai di aperture 2 yang mana bisa membuat gambar lebih terang dan bokeh.
Akhirnya, kesampaian juga beli lensa ini, TTArtisan 50mm F2, lensa yang menurut saya kecil atau istilahnya “pancake lens”, asumsi saya akan lebih mudah digunakan di keramaian, karena gak tapi mencolok, tapi ternyata gak kecil-kecil amat :). Lensa ini bisa dibilang juga kategori murah banget, lensa entry level lah. Dengan fisik…
Akhirnya, kesampaian juga beli lensa ini, TTArtisan 50mm F2, lensa yang menurut saya kecil atau istilahnya “pancake lens”, asumsi saya akan lebih mudah digunakan di keramaian, karena gak tapi mencolok, tapi ternyata gak kecil-kecil amat :).
Perbandingan ukuran lensa kit Fuji XC 16-50mm (kiri) dengan lensa TTArtisan (kanan), lebih kecil, tapi ternyata gak kecil-kecil amat.
Lensa ini bisa dibilang juga kategori murah banget, lensa entry level lah. Dengan fisik dan apalagi harga yang murah, lensa ini jelas adalah lensa manual fokus.
Dua alasan tersebut, ukuran kecil dan harga murah, menjadi alasan utama saya memilih lensa ini. Saya masih belum merasa butuh ngeluarkan uang terlalu banyak untuk perangkat kamera dan lensa, masih merasa sebagai hobi tersier, jadi kalau bisa yang murah maka ya yang murah saja 😀
Lensa ini juga menggunakan focal length 50mm di APSC yang artinya equivalent sekitar 75-80mm untuk kamera fullframe yang mana itu masuk kategori tele yang mana jarang banget penggunanya, kecuali untuk keperluan foto portrait atau make up yang perlu fokus ke wajah saja.
Untuk yang suka foto dokumentasi kegiatan misalnya, atau pengen foto moment, biasanya lebih suka yang lebih lebar sekitar 25-35mm karena bisa nangkap objek lebih banyak.
Saya juga sebenarnya lebih suka sekitaran itu, 35mm mungkin sweet spot saya, tapi ada beberapa hal yang jadi pertimbangan saya sehingga memilih 50mm:
Saya belum pede foto jarak dekat 🙂 jadi biasanya ngambil foto dari jarak jauh, jadi lensa 50mm cocok karena saya tetap bisa mengambil momen atau cerita dari jarak agak lebih jauh.
Karena lebih jauh, biasanya objek yang difoto jadi gak aware, jadi lebih sering dapet momen candid.
Saya masih susah mengatur komposisi, jadi dengan lensa lebar seringnya saya bakal nge-crop foto, padahal kamera ini resolusinya kecil, kalau di crop maka makin habis lah.
Lensa lebih lebar fotonya cenderung jadi ‘biasa’ saja karena biasanya kamera handphone juga menggunakan focal length lebar, jadi sudah terlalu sering melihat hasilnya.
Sepertinya bakal memberi saya pandangan berbeda dalam mengambil foto, bisa dapat foto yang lebih detail dan unik.
Dengan alasan tersebut, saya merasa lebih cocok untuk memilih 50mm. Walaupun begitu, sepertinya lensa kit bawaan kamera akan tetap dibawa terutama kalau ada kegiatan karena lensa bawaan lebih fleksibel, bisa bukaan lebar dari 16mm sampai 50mm. Jadi kalau situasi susah pakai 50mm, maka ya diganti saja.
Oh setelah membuka dan mencoba sekilas, ada beberapa kesan pertama yang saya rasakan
Seperti kebanyakan YouTuber, waktu pegang pertama kerasa banget build quality nya bagus! full besi dan solid, tapi…
BERAT! ya saya gak tau sih berapa berat lensa kit bawaan yang saya pakai sebelumnya, tapi yang ini kerasa berat, lebih berat daripada kameranya, setelah beberapa foto kerasa di tangan pegelnya, saya gak biasa aja ini. Ini resiko dari build quality full besi solid tadi.
Saya juga gak sadar, ternyata lensa kit bawaan kamera saya itu ada image stabilization, saya baru sadar setelah menggunakan lensa TTArtisan ini rasanya kamera gak bisa diem, gerak mulu, agak susah fokus.
Ngomongin fokus, lensa ini manual fokus, jadi ya agak tantangan dalam menggunakannya, gak bisa main jepret seperti auto fokus, tapi:
Autofokus kamera saya lambat juga, Fuji memang agak terbelakang bagian autofokus, sudah gitu ini kamera XA series, versi lama pula, jadi autofokus memang lambat dan gak tepat juga.
Setelah nonton dan nyobain zone focusing, rasanya manual fokus gak susah-susah amat, tapi ya saya belum pernah pakai di lapangan sih.
Seperti komplain kebanyakan reviewer, tutup lensa nya gak enak, sistem ulir, saya pikir mereka lebai, tapi beneran deh, ulirnya gak enak, harus ngepasin.
Saya belum sempat testing banyak foto, cuma tadi ngetest manual fokus dan ngetest hasilnya gimana, yang mana menurut saya oke aja sih.
Nantilah akan saya coba compare lensa ini dengan lensa kit bawaan, bagaimana perbedaanya.
Contoh hasil foto menggunakan lensa TTArtisan 50mm
Catatan buat diri sendiri: Menurut saya, jam kerja itu Zero-sum game. Untuk jenis pekerjaan yang bisa dikerjakan dimana saja dan kapan saja, seperti programming, saya bisa lebih fleksibel kapan saya bekerja, tapi sebenarnya secara jumlah apalagi output, jam kerjanya akan kurang lebih sama. Contohnya, saya mengerjakan pekerjaan lain di malam…
Menurut saya, jam kerja itu Zero-sum game. Untuk jenis pekerjaan yang bisa dikerjakan dimana saja dan kapan saja, seperti programming, saya bisa lebih fleksibel kapan saya bekerja, tapi sebenarnya secara jumlah apalagi output, jam kerjanya akan kurang lebih sama.
Contohnya, saya mengerjakan pekerjaan lain di malam hari, atau di akhir pekan, atau malam hari di akhir pekan, kelihatanya itu adalah jam kerja extra, padahal besoknya bakal teler, jenuh, dan perlu istirahat.
Jadi sama aja, gak merubah atau menambah jadi lebih produktif.
Oleh karena itu, mending kalau kerja beneran kerja, dan istirahat beneran istirahat, percuma dikejar.
Enshittification, also known as crapification and platform decay, is a pattern in which online products and services decline in quality. Initially, vendors create high-quality offerings to attract users, then they degrade those offerings to better serve business customers, and finally degrade their services to users and business customers to maximize profits for shareholders. Wikipedia Belakangan…
Enshittification, also known as crapification and platform decay, is a pattern in which online products and services decline in quality. Initially, vendors create high-quality offerings to attract users, then they degrade those offerings to better serve business customers, and finally degrade their services to users and business customers to maximize profits for shareholders.
Belakangan ini makin sering liat kata ini dipakai dimana-mana, terutama ranah teknologi dan terutama lagi kalau lagi bahas platform online dan sosial media.
Sederhananya, Enshittification adalah istilah yang diberikan untuk suatu produk, umumnya produk platform digital, yang mana tadinya bagus, memanjakan pengguna, kemudian setelah banyak penggunanya visi produk berubah dan lebih fokus dalam mencari profit karena merasa sudah punya banyak pengguna, yang mana fokus baru ini kadang bikin kesal pengguna dan malah pergi.
Contoh nyata ya Twitter, yang tadinya populer banget dan jadi pop culture, sekarang jadi tempat toxic gak jelas, penggunanya juga pada beralih ke sosial media lain, yang mana padahal media baru tersebut bisa jadi mengalami enshittification juga nantinya.
Saya beneran iseng, ada cemilan jadi sebelum tidur iseng buka Netflix dan ketemu ini, A Man on the Inside. Saya inget banget ini tokoh utamanya, Ted Danson, doi yang juga jadi tokoh utama di Good Place, yang mana saya suka juga, dan selain tokoh utama, ternyata serial ini juga diubat…
Saya beneran iseng, ada cemilan jadi sebelum tidur iseng buka Netflix dan ketemu ini, A Man on the Inside.
Saya inget banget ini tokoh utamanya, Ted Danson, doi yang juga jadi tokoh utama di Good Place, yang mana saya suka juga, dan selain tokoh utama, ternyata serial ini juga diubat oleh orang yang sama yang membuat Good Place, Mike Schur, jadi makin penasaran, dan bener, saya menikmati serial ini.
Bingewatching,gak terasa 8 episode ditonton langsung dalam sekali hadap haha 🙂
Tentu saja komedi, dan bagian relasi ortu dan anak yang ya fascinating.
Tapi setiap ngeliat “Charles” ini saya selalu kebayang Michael di Good Place, ha. Saya merasa ini seperti kehidupan Michael sebelum jadi ‘malaikat’ di Good Place :D, tipe aktor yang apapun series nya karakternya kurang lebih sama.
Terus dibagian ending ada “Janet” pula, memang lah mereka ni.
Saya melihat ada banyak orang yang jadi gak suka untuk menggunakan WordPress karena ulah pimpinannya, saya gak mengerti apakah mereka tidak tahu bahwa ada WordPress.com ada juga WordPress.org. WordPress.com adalah platform WordPress yang dikontrol langsung oleh perusahaan induknya, yang mana kita bayar tapi juga bisa kena efek langsung atas keputusan…
Saya melihat ada banyak orang yang jadi gak suka untuk menggunakan WordPress karena ulah pimpinannya, saya gak mengerti apakah mereka tidak tahu bahwa ada WordPress.com ada juga WordPress.org.
WordPress.com adalah platform WordPress yang dikontrol langsung oleh perusahaan induknya, yang mana kita bayar tapi juga bisa kena efek langsung atas keputusan perusahaan induknya, Automattic.
WordPress.org berbeda, walaupun mirip, WordPress.org membolehkan pengguna untuk mendownload full WordPress dan hosting sendiri dimanapun kamu mau, artinya lepas kontrol dari perusahaan Automattic.
Ya tentu saja bisa jadi mereka membuat batasan fitur atau kontrol ini itu, tapi selama ini gak pernah, malah yang ada WordPress.org punya fitur lebih banyak dari yang WordPress.com, kecuali mau subscribe paket yang menengah keatas.
Kalaupun gak ngerti tentang hosting dan setup server, tinggal googling “WordPress hosting Indonesia”, ada banyak provider yang menawarkan dengan harga yang murah.
Saya gak perlu setup server, dan lain-lain. Cuma perlu daftar, bayar tinggal posting.
Tapi tetap saja, pimpinan WordPress mulai gak bener
iya, tapi kalau saya pribadi gak begitu masalah karena ya itu tadi saya tidak secara langsung menggunakan layanan perusahaan dan membayar kesana, dan masalah mereka adalah murni urusan bisnis antar perusahaan kompetitor.
Sedangkan yang saya gunakan produk open source yang dikontrol banyak orang dan ya sampai sejauh ini belum ada efek negatif dari keputusan Automattic ke produk WordPress.org, jadi ya saya merasa tidak ada masalah.
Sambil browsing-browsing kamera, yang mana ternyata mahal 🙂 tapi ada banyak juga kamera yang umurnya 10 tahunan, kamera saya sendiri, Fujifilm XA-2, sudah 8-9 tahun, yang mana menurut saya cukup wah, karena masih bisa dipakai normal gak ada masalah, yeah kamera lebih baru punya pixel lebih besar, auto fokus lebih…
Sambil browsing-browsing kamera, yang mana ternyata mahal 🙂 tapi ada banyak juga kamera yang umurnya 10 tahunan, kamera saya sendiri, Fujifilm XA-2, sudah 8-9 tahun, yang mana menurut saya cukup wah, karena masih bisa dipakai normal gak ada masalah, yeah kamera lebih baru punya pixel lebih besar, auto fokus lebih cepat, tapi bukan berarti kamera lama jadi gak bisa dipakai.
Ini tidak seperti ‘gadget’ kebanyakan, laptop bisa syukur banget kalau bertahan sampai 10 tahun, atau malah 5 tahun aja uda bagus. Laptop terakhir saya tahan 10 tahun sih, macbook 2012, tapi sudah kerasa banget load kerja nya menjadi lebih lambat, sampai saya nyerah dan install Ubuntu untuk tetap bisa dipakai hingga total 10 tahun, sampai akhirnya beneran mati karena ada masalah fisik.
Apalagi handphone, smartphone, fisiknya yang fullscreen sudah sangat lah rentan, baterai model tanam jadi sedikit lebih susah untuk memperpanjang usia smartphone.
Salah satu yang jadi perbedaan gadget tersebut dengan kamera menurut saya adalah software, kamera bisa dibilang jarang banget ada update software, sedangkan laptop dan smartphone dapat update software terus, yang mana harusnya jadi dampak bagus, tapi software update kadang perlu lebih banyak resources, jadi perlu hardware update, jadi kalau hardware nya (dalam hal ini laptop dan smartphone) gak diupdate, maka kewalahan jalanin update software terbaru.
Belum termasuk software tambahan, game tambahan, yang makin kesini makin baik yang berarti perlu lebih banyak resources, jadilah hardware ‘jadul’ semakin terasa ketinggalan.
Lebih parah lagi beberapa gadget “smart” yang sebenarnya gak perlu update software, gak perlu software tambahan, tapi tetap saja kena masalah ini.
Contohnya printer (HP) dan smartband (xiaomi) saya yang harusnya ya gak perlu software update dll, cuma punya 1 fungsi, dan gak ada perubahan kebutuhan, tapi baru 2-3 tahun sudah punya beberapa masalah.
Jadi makin kesini elektronik semakin canggih dan “pintar”, tapi sifat daya tahannya malah makin menurun, sangat disayangkan karena sebenarnya gadget-gadget yang tergolong “tua” itu sebenarnya masih bisa berguna tapi software yang meminta resource lebih membuatnya jadi tidak berguna dan menjadi sampah elektronik.