• Demi Anak

    “Demi Anak” adalah sebuah mantra yang paling sering diucapkan oleh orang yang sudah berkeluarga. Mantra yang positif tentunya karena percaya atau tidak, kalimat ini bisa meningkatkan daya juang dan semangat beraktifitas. Malah kadang mantra ini bisa membuat orang lain menjadi maklum dan memberi ijin khusus kepada si pengucap mantra. Tidak bisa disalahkan, semua orang tua…

    “Demi Anak” adalah sebuah mantra yang paling sering diucapkan oleh orang yang sudah berkeluarga. Mantra yang positif tentunya karena percaya atau tidak, kalimat ini bisa meningkatkan daya juang dan semangat beraktifitas. Malah kadang mantra ini bisa membuat orang lain menjadi maklum dan memberi ijin khusus kepada si pengucap mantra.

    Tidak bisa disalahkan, semua orang tua ingin yang terbaik untuk anak. Saya belum pernah mengerti hal ini, sampai akhirnya punya keluarga dan anak sendiri.

    Masalahnya, kita tidak pernah tahu seberapa tulus kalimat ini diucapkan, seberapa besar kesadaran dan keseriusan yang diperlukan ketika mengucapkan “Demi Anak”. Malah, kadang menjadikan kalimat ini sebagai pembenaran atas semua tindakan yang sebenarnya malah memberikan efek berlawanan dari tujuan awal kalimat ini diucapkan.

    Ada banyak orang yang bekerja keras “Demi Anak”, membuat anak bahagia, yang akhirnya malah tidak punya waktu untuk berkumpul dan berbahagia bersama anak dan keluarga.

    Ada banyak orang yang memberikan perlindungan ekstra, demi anak, supaya anaknya terlindungi dan terjaga, sampai lupa mengajarkan anak bertahan hidup di atas kaki sendiri.

    Ada banyak orang yang merencanakan masa depan anak jauh kedepan, demi anak, supaya anak tidak salah langkah, tidak tersesat, tapi lupa bahwa anak juga individu yang ingin dan mampu untuk hidup mandiri.

    Ada banyak kegiatan dan kesempatan yang harusnya bisa dilakukan dengan normal, tapi menjadi lebih kompleks dan terkesan grusa-grusu atas nama anak yang akhirnya malah menjadi kebalikan dari yang diharapkan.

    Jangan-jangan, kalimat “demi anak” adalah alasan dan pembenaran yang dibuat supaya apa yang dilakukan terlihat normal dan dibutuhkan.

    Perlu intropeksi diri, apakah kegiatan yang kita lakukan atas dasar “demi anak”, benar-benar untuk kepentingan anak, atau hanya pembenaran atas ketidakmampuan diri sendiri dalam mengatasi kondisi yang ada.

  • Kapan pandemi ini berakhir?

    Karena tentu saja, stay at home itu gak mudah, bahkan untuk saya dan keluarga yang sudah biasa melakukan ini. Sebagai programmer yang bekerja dari rumah sejak 7 tahun lalu, saya sekeluarga memang lebih banyak menghabiskan kegiatan sehari-hari dirumah. Istri saya juga tipe stay at home mom, anak-anak juga belum usia sekolah, jadi makin komplit dan…

    Karena tentu saja, stay at home itu gak mudah, bahkan untuk saya dan keluarga yang sudah biasa melakukan ini.

    Sebagai programmer yang bekerja dari rumah sejak 7 tahun lalu, saya sekeluarga memang lebih banyak menghabiskan kegiatan sehari-hari dirumah. Istri saya juga tipe stay at home mom, anak-anak juga belum usia sekolah, jadi makin komplit dan ramai lah situasi di rumah.

    Kegiatan stay at home ini tentu jadi membosankan. Saya tidak ingat sejak kapan saya dan keluarga mulai menetapkan untuk mengurangi kegiatan diluar rumah terkait pandemi ini, sepertinya pertengahan bulan maret lalu, sudah 1 bulan lebih!

    Tentu saja bukan cuma saya yang bosan, ada banyak orang yang mengalami hal yang sama. Lebih parah, ada banyak orang yang terpaksa harus keluar rumah bukan karena bosan semata, tapi karena ya mesti bekerja dan melakukan kegiatan lain yang tidak bisa dilakukan dari rumah.

    Kegiatan stay at home ini bukan kegiatan yang mengada-ngada, saya mengerti tujuannya, flatten the curve, mengurangi kecepatan potensi penyebaran virus covid-19 ini. Karena penyebaran virus ini yang begitu cepat, dikhawatirkan akan banyak orang yang tertular dan menyebabkan rumah sakit over capacity, sehingga tidak bisa memberikan pelayanan terbaik kepada yang membutuhkan.

    Masalahnya kita tidak pernah tahu kapan pandemi berakhir. Ada banyak pakar dari berbagai bidang melakukan perhitungan, permodelan, penelitian dan kegiatan lainnya untuk memperkirakan kapan pandemi berakhir, dan tentunya tidak bisa memastikan mana yang paling benar sampai benar-benar berakhir.

    Dengan ketidak-tahuan tersebut, kita tidak pernah tau sampai kapan harus terus menjalankan kegiatan stay at home ini.

    Akan ada masa puncak titik kebosanan dan kesabaran ini. Masyarakat akhirnya akan sedikit demi sedikit longgar dan mengabaikan kegiatan ini. Saat itu terjadi, kita kembali ke sesi awal, kita kembali menjadi target penyebaran virus ini.

    Apalagi sekarang bulan ramadhan, lebaran idul fitri sudah didepan sana, saya pun sangat ingin menjalankan kegiatan yang biasa dilakukan di hari kemenangan tersebut. Tapi kalau mengingat akan banyak orang yang saling berkumpul, ditambah dengan puncak kebosanan melakukan kegiatan stay at home, saya jadi merinding sendiri membayangkannya.

    Saya pesimis pandemi akan berakhir dalam waktu dekat. Ya, Jakarta sudah menunjukkan perlambatan kasus penyebaran virus covid-19, tapi untuk yang di daerah, jumlah kasus justru perlahan meningkat, dan sebagai orang yang tinggal di daerah, saya cukup kuatir.

    Ya, ini bukan akhir dari dunia. Kita bisa melewatinya seperti semua permasalahan yang sudah-sudah. Tidak banyak yang bisa dilakukan untuk melawan penyebaran virus ini, yang bisa dilakukan hanya melakukan pertahanan, dan bertahan itu perlu kesabaran.

  • Nokia 105

    3 Minggu lalu smartphone saya hilang, dicuri lebih tepatnya, atas keteledoran saya sayangnya. Itu slot saku yang ada di bawah stir motor jenis matic itu memang bahaya banget, membuat kita terlena atas kemudahan menyimpan barang-barang penting, lalu lupa dan jadi sasaran empuk orang yang lewat. damn. Sampai sekarang belum sempat beli smartphone baru, saya lebih…

    3 Minggu lalu smartphone saya hilang, dicuri lebih tepatnya, atas keteledoran saya sayangnya. Itu slot saku yang ada di bawah stir motor jenis matic itu memang bahaya banget, membuat kita terlena atas kemudahan menyimpan barang-barang penting, lalu lupa dan jadi sasaran empuk orang yang lewat. damn.

    Sampai sekarang belum sempat beli smartphone baru, saya lebih memilih menggunakan salah satu ponsel lama yang ada di laci meja kerja, Nokia 105, ponsel yang dilengkapi dengan senter dan permainan ular itu.

    Dulu ponsel ini sebenarnya dibeli atas 1 tujuan, mengurangi ketergantungan saya terhadap smartphone.

    Karena ya tau sendiri zaman sekarang, kemana-mana selalu dibawa dan digunakan. Kalaupun tidak sedang digunakan melakukan panggilan telepon, smartphone bisa digunakan untuk mengikutin timeline sosial media, melihat postingan instagram, “eh si A sudah punya anak tuh”, main game dan lainnya.

    Saya sendiri sadar, hal itu salah, saya menggantinya dengan kegiatan positif, membaca ebook, baca artikel-artikel penting yang gak sempat kebaca, dan lainnya. Ujung-ujungnya sama saja, kecanduan informasi, gak bisa lepas dari smartphone.

    Ya iya, ada benefitnya, saya bisa tetap memantu Skype atau email saya, melihat daftar pekerjaan saya, menjawab klien dengan lebih cepat, bahkan ketika saya lagi makan atau berkumpul dengan keluarga, saya masih bisa tetap bekerja.

    Sebentar, ada yang salah disini.

    Ya, smartphone dengan kemampuan internet benar-benar menciptakan black hole yang akan menyita semua waktu kalau tidak dikendalikan dengan baik. Bukan cuma waktu, bahkan kebersamaan dan kehadiran orang-orang sekitar jadi tidak terasa.

    Jepret sana jepret sini, setiap ada momen indah dan bahagia, bukannya ikut serta dalam kebahagian, kita malah memilih keluar dari arus dan sibuk memotret dengan dalih “mengabadikan momen bahagia”.

    Saya sadar akan semua ini, saya sadar saya harus lebih baik, saya sudah mencoba melakukan uninstall aplikasi yang saya anggap tidak penting, memasang pengingat, pengontrol dan lain sebagainya. Tapi selalu ada masa kegagalan akan tiba dan kembali ke jurang ketergantungan smartphone.

    Itulah kenapa akhirnya saya memutuskan untuk membeli sebuah ponsel “dumbphone” ini, ponsel yang sangat tidak smart, yang bahkan tidak mampu mengambil alih waktu saya, membuat saya tidak lagi memperhatikan keadaannya, dan lebih punya sense untuk melihat keadaan sekitar.

    Waktu dibeli, ponsel ini berhasil mengembalikan kehidupan saya ke kehidupan yang seharusnya. Sayangnya lagi-lagi setelah beberapa waktu saya mulai punya alasan atau tepatnya mencari-cari alasan untuk kembali menggunakan smartphone dan menyimpan ponsel ini di laci meja.

    Sekarang, smartphone tersebut sudah hilang, saya kembali menggunakan ponsel Nokia ini, ponsel yang tidak memiliki fitur wah, tidak smart, namun saat ini saya yang mengontrol ponsel saya bukan sebaliknya.

  • Memantau pegawai yang bekerja secara remote

    Ini adalah salah dua dari sekian hal yang sering ditanyakan kepada saya, baik di IRL maupun melalui halaman kontak saya, belakangan muncul lagi pertanyaan ini karena ya momennya saat ini (tahu sendiri, covid-19) dimana keadaan memaksa sebagian orang bekerja secara remote atau juga Work From Home (WFH) Sebelum saya bekerja sebagai freelance, saya dulunya juga…

    Ini adalah salah dua dari sekian hal yang sering ditanyakan kepada saya, baik di IRL maupun melalui halaman kontak saya, belakangan muncul lagi pertanyaan ini karena ya momennya saat ini (tahu sendiri, covid-19) dimana keadaan memaksa sebagian orang bekerja secara remote atau juga Work From Home (WFH)

    Sebelum saya bekerja sebagai freelance, saya dulunya juga sempat bekerja pada beberapa tempat yang memberikan kelelulasaan untuk bekerja secara remote. Dari sekian banyak tempat tersebut, masing-masing punya cara tersendiri untuk “memantau” bagaimana saya dan rekan-rekan kerja bekerja.

    Ada banyak cara untuk memantau pegawai yang work from home, aka kerja dari rumah aka kerja remote, namun sebenarnya berdasarkan pengalaman, sebelum menentukan bagaimana memantau rekan kerja, perlu untuk melihat balik lagi, kenapa perlu dilakukan pemantauan.

    Iya, mesti tahu dan jelas dulu, apa sih yang dikuatirkan dari pegawai yang bekerja secara remote? Setelah tahu apa yang ingin dikejar dan tujuan dari pemantauan, baru bisa ditentukan mana proses pemantauan yang diperlukan.

    Berikut adalah 3 cara yang bisa dilakukan untuk memantau pegawai yang bekerja secara remote, disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai.

    Dibaca sampai akhir ya.

    Mengetahui segala kegiatan pegawai

    Salah satu tempat kerja saya dulu punya intensi seperti ini, so para pekerja diharuskan menginstal aplikasi screen recorder, tujuannya supaya manajer bisa melihat apakah kita beneran kerja atau tidak.

    Bonus point: manajer bisa melihat isi email saya, pesan facebook saya, rekening bank, daftar belanjaan saya.

    Ada juga teman yang cerita ketika diharuskan bekerja secara remote dimasa pandemi ini, dia diharuskan untuk memasang dan menghidupkan webcam/cctv di ruangannya.

    Ya bagus sih, sekalian bisa melihat kegiatan anggota keluarga lainnya.

    Memastikan bekerja sesuai jumlah jam kerja

    Tempat kerja lain, saya sempat menggunakan sistem absensi, semacam di kantor-kantor gitu.

    Jadi ketika memulai jam kerja, jam 9 gitu, saya diharuskan membuka aplikasi absen (website), disitu saya bisa checkin. Lalu ketika sudah selesai, jam 5-an, saya harus checkout melalui aplikasi tersebut lagi.

    Aplikasi tersebut unik, kalau telat checkin, bisa-bisa saya di lock, jadi gak bisa check in, dan dianggap absen, gak masuk kerja. Tapi kalau telat checkout, misal karena kerjaan overtime, aplikasi nya fine-fine saja. Weekend, ketika ada keperluan mendesak, aplikasi ini tidak bisa dibuka karena settingannya cuma di weekday saja, jadi gak bisa absen di weekend.

    Di lain tempat, saya sempat menggunakan time tracker, baik yang manual seperti Toggle, ataupun yang otomatis seperti Rescue Time.

    Toggl mengharuskan penggunanya untuk tidak lupa menghidup-matikan time tracker, karena ya kalau lupa hidupin, tidak dianggap sebagai kerja.

    Rescue Time lebih mudah tapi agak agresif, pencatatan waktu secara otomatis. Jadi tidak perlu menghidup-matikan time tracker, secara otomatis akan dicatat berapa jam buka website ini, berapa jam buka aplikasi itu, dan lainnya.


    Itu tadi adalah 2 cara untuk memantau pegawai secara remote, bagaimana menurut mu?

    Memantau semua kegiatan pegawai pasti mengasyikkan, seakan punya mata dewa. Bisa melihat pegawai kerja beneran apa tidak, bisa melihat pegawai lagi buka website apa saja, pasti menyenangkan.

    Mengetahui jumlah jam kerja pegawai juga penting, iya kan? karena kalau pegawai tidak absen jam 9 pagi dan log out jam 5 sore, berarti pegawai tersebut tidak bekerja secara benar.

    Karena kesuksesan sebuah perusahaan dihitung dari jumlah jam kerja, iya kan?

    Sayangnya tidak demikian

    Seberapa banyak jam kerja yang digunakan, tidak menjamin produktifitas kerja. Malah sebenarnya jumlah jam kerja yang banyak namun tidak dibarengi dengan hasil kerja yang oke menunjukkan produktifias kerja yang tidak efektif.

    Percuma kalau check in dan check out tepat waktu, kalau diantara kedua waktu tersebut pegawainya tidur.

    Memonitor layar kerja atau bahkan memasang CCTV sekalipun tidak berguna, hanya menciptakan penjara kecil untuk pegawai, dan lagipula, apakah kamu tidak punya kesibukan lain selain mantengin layar pemantau?

    Jadi gimana dong?

    Nah, ini cara ke 3, cara yang menurut saya paling efektif.

    Daily Report

    laporan harian tentang apa yang sudah dikerjakan.

    Tidak harus harian juga sih, disesuaikan saja. Sebagai freelancer, walaupun tidak diharuskan, saya biasanya membuat laporan secara mingguan.

    Isi laporannya adalah tentang apa saja yang sudah dikerjakan, apa saja yang menjadi masalah, apa saja yang perlu diketahui rekan kerja lain, dan apa yang akan dilakukan periode berikutnya (besoknya atau minggu depannya).

    Tidak perlu tahu keberadaan pegawai, tidak perlu tahu berapa jam dan kapan pegawi bekerja, yang penting adalah tugas yang diserahkan sudah beres, hasilnya ada, bukankah hal itu jauh lebih penting dan berguna?

    Apakah pegawai dibayar untuk mengisi jam kerja atau ya, you know, menyelesaikan pekerjaan?

    Duduk standby di depan meja kerja selama 8 jam tidak berarti apa-apa kalau tidak menghasilkan sesuatu, tugas masih menumpuk, kerjaan tidak beres dan lainnya. Sebaliknya, kerja 4 jam tapi bisa menyelesaikan pekerjaan yang ditugaskan, itu namanya efisien.

    Cara ini juga mudah dilakukan karena bentuknya bermacam-macam, bisa disesuaikan dengan kebutuhan dan keadaan, tidak harus menggunakan aplikasi atau sistem yang gimana-gimana. Laporan bisa dikirim via email atau bahkan pesan WA.

    Di kantor saya yang terakhir menggunakan sistem standup meeting, dimana setiap sore hari pekerjanya bakal ngumpul terus saling memberikan laporan dan update tentang apa yang sudah dikerjakan hari itu.

    Sejujurnya, cara ini bisa jadi enak gak enak buat pegawai. Jadi enak kalau ya beneran kerja dan punya hal yang bisa dilaporkan, jadi gak enak kalau sudah hampir sore dan masih belum punya bahan atau kerjaan belum beres jadi gak punya sesuatu untuk dilaporkan.

    Positifnya, pembuatan laporan kerja memacu pegawai untuk bekerja lebih efisien. Juga membantu manajer untuk memiliki gambaran terkait progres pekerjaan yang berjalan.

    Jadi gimana, masih mau “memantau” pegawai?

  • Halo, 2020

    Sudah tahun 2020, sungguh perjalanan yang panjang di tahun 2019, tahun yang bisa dibilang tidak bersahabat dengan kehidupan saya. Kalau ada yang bilang bahwa roda kehidupan kadang diatas, kadang dibawah, tahun 2019 adalah roda terbawah kehidupan saya. 2019 adalah masa dimana saya benar-benar merasa kehidupan gak selalu ada di masa jaya dan baik, ada masa…

    Sudah tahun 2020, sungguh perjalanan yang panjang di tahun 2019, tahun yang bisa dibilang tidak bersahabat dengan kehidupan saya.

    Kalau ada yang bilang bahwa roda kehidupan kadang diatas, kadang dibawah, tahun 2019 adalah roda terbawah kehidupan saya. 2019 adalah masa dimana saya benar-benar merasa kehidupan gak selalu ada di masa jaya dan baik, ada masa mendung, hujan, jalan terjal dan lainnya. 2019 adalah masa saya untuk instropeksi diri dan kembali memikirkan rencana kehidupan dengan lebih matang.

    Ada beberapa masalah yang sebenarnya sudah terjadi sejak awal tahun 2019, tapi saya merasa saya bisa mengarungi dan melewati masalah, dengan gampang. Kenyataannya, malah menjadi bola salju yang terus bergulir makin heboh sampai akhir 2019. Baru beberapa minggu belakangan situasi mulai membaik.

    Dimulai dari pekerjaan, kalau tahun 2018 adalah tahun terbaik saya dari sisi pekerjaan, yang membuat saya terlena, tahun 2019 langsung berbalik arah, dan itu mempengaruhi semua sendi kehidupan. 2018 semuanya stabil, begitu 2019 oleng sedikit, semuanya menjadi terganggu dan kacau.

    Walaupun begitu, gak bisa dibilang 2019 selalu mendung, saya mendapatkan hadiah luar biasa, istri saya melahirkan anak kedua saya, yang mana juga sangat ikut berpengaruh pada roda kehidupan.

    Tidak perlu diragukan betapa bahagia dan sayang saya kepada anak kedua ini, tapi saya harus akui, mengurus balita itu tidak mudah, mengurus 2 balita itu berada di dimensi dunia komplikasi yang berbeda. Ya, anak pertama saya juga masih balita (4 tahun).

    “Ah, anak saya juga 2 ga, tapi gak ada masalah” – kata temen saya,

    Ya, bener, untuk beberapa orang ya gak masalah, dan sejujurnya bukan masalah juga buat saya, hanya saja sebagai pekerja remote, yang menghabiskan seluruh waktu dirumah, punya anak yang baru lahir itu perlu adapatasi baru, perlu kembali mengatur ritme kerja dan sebagainya.

    Saya bisa aja kerja di tempat lain, meninggalkan istri saya mengurus 2 balita sendiri, tapi sejujurnya itu bertentangan dengan prinsip saya, prinsip dasar kenapa saya memilih bekerja secara freelance sejak awal, yaitu tetap dekat dengan keluarga.

    Tapi ya begitulah, 2019 sudah berlalu, saya belajar banyak tentang kehidupan, in hard ways. Saya belajar banyak tentang mengelola waktu lebih baik, mengelola komitmen dan tanggung jawab, mengelola mood dan stress supaya tetap sadar, mengelola keuangan karena ternyata keuangan yang baik sangat mempengaruhi untuk membuat keputusan pekerjaan, kehidupan atau keputusan apapun lebih baik. Ya simple karena apapun yang dilakukan, ada backup yang bakal menopang ketika lagi masa sulit.

    Bagaimana dengan resolusi tahun 2019 yang sudah dibuat? 

    lupakan, sudah dilempar keluar jendela :). Terlalu sibuk melakukan berbagai macam tanggung jawab dan komitmen yang tidak diperkirakan akan muncul ketika membuat resolusi 2019.

    Jadi bagaimana dengan tahun 2020?

    Matahari mulai terbit, beberapa minggu akhir desember 2019 sudah mulai menunjukkan jalan yang cerah, saya percaya 2020 akan menjadi lebih baik, harus.

    Semua pelajaran di tahun 2019 sudah direkap dan direnungkan, saya sudah tahu hal yang membuat runyam. tahun 2020 sudah direncanakan dengan baik, beberapa hal telah dirubah, harapannya tahun 2020 bisa jadi lebih baik dan stabil.

    Sebenarnya saya tertarik dengan membuat public new year resolutions, saya sudah membuat Trello board untuk dibagikan, tujuannya bagus supaya ada pressure dan challenge untuk mewujudkannya, tapi karena terlalu banyak hal yang saya pikir masuk kategori personal dan privat, maka saya urungkan niat tersebut 🙂