Nokia 105

3 Minggu lalu smartphone saya hilang, dicuri lebih tepatnya, atas keteledoran saya sayangnya. Itu slot saku yang ada di bawah stir motor jenis matic itu memang bahaya banget, membuat kita terlena atas kemudahan menyimpan barang-barang penting, lalu lupa dan jadi sasaran empuk orang yang lewat. damn.

Sampai sekarang belum sempat beli smartphone baru, saya lebih memilih menggunakan salah satu ponsel lama yang ada di laci meja kerja, Nokia 105, ponsel yang dilengkapi dengan senter dan permainan ular itu.

Dulu ponsel ini sebenarnya dibeli atas 1 tujuan, mengurangi ketergantungan saya terhadap smartphone.

Karena ya tau sendiri zaman sekarang, kemana-mana selalu dibawa dan digunakan. Kalaupun tidak sedang digunakan melakukan panggilan telepon, smartphone bisa digunakan untuk mengikutin timeline sosial media, melihat postingan instagram, “eh si A sudah punya anak tuh”, main game dan lainnya.

Saya sendiri sadar, hal itu salah, saya menggantinya dengan kegiatan positif, membaca ebook, baca artikel-artikel penting yang gak sempat kebaca, dan lainnya. Ujung-ujungnya sama saja, kecanduan informasi, gak bisa lepas dari smartphone.

Ya iya, ada benefitnya, saya bisa tetap memantu Skype atau email saya, melihat daftar pekerjaan saya, menjawab klien dengan lebih cepat, bahkan ketika saya lagi makan atau berkumpul dengan keluarga, saya masih bisa tetap bekerja.

Sebentar, ada yang salah disini.

Ya, smartphone dengan kemampuan internet benar-benar menciptakan black hole yang akan menyita semua waktu kalau tidak dikendalikan dengan baik. Bukan cuma waktu, bahkan kebersamaan dan kehadiran orang-orang sekitar jadi tidak terasa.

Jepret sana jepret sini, setiap ada momen indah dan bahagia, bukannya ikut serta dalam kebahagian, kita malah memilih keluar dari arus dan sibuk memotret dengan dalih “mengabadikan momen bahagia”.

Saya sadar akan semua ini, saya sadar saya harus lebih baik, saya sudah mencoba melakukan uninstall aplikasi yang saya anggap tidak penting, memasang pengingat, pengontrol dan lain sebagainya. Tapi selalu ada masa kegagalan akan tiba dan kembali ke jurang ketergantungan smartphone.

Itulah kenapa akhirnya saya memutuskan untuk membeli sebuah ponsel “dumbphone” ini, ponsel yang sangat tidak smart, yang bahkan tidak mampu mengambil alih waktu saya, membuat saya tidak lagi memperhatikan keadaannya, dan lebih punya sense untuk melihat keadaan sekitar.

Waktu dibeli, ponsel ini berhasil mengembalikan kehidupan saya ke kehidupan yang seharusnya. Sayangnya lagi-lagi setelah beberapa waktu saya mulai punya alasan atau tepatnya mencari-cari alasan untuk kembali menggunakan smartphone dan menyimpan ponsel ini di laci meja.

Sekarang, smartphone tersebut sudah hilang, saya kembali menggunakan ponsel Nokia ini, ponsel yang tidak memiliki fitur wah, tidak smart, namun saat ini saya yang mengontrol ponsel saya bukan sebaliknya.


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *