Beberapa waktu lalu saya memutuskan untuk menghentikan hubungan saya dengan akses ke sosial media, dalam hal ini Facebook, Instagram dan lainnya. Saya merasakan apa yang dikenal dengan social media fatigue, sebuah keadaan dimana saya sudah lelah, bosan, jenuh dengan kehidupan, lingkaran pertemanan dan informasi yang beredar disosial media. Sebenarnya sudah lama saya ingin melakukan ini,…
Beberapa waktu lalu saya memutuskan untuk menghentikan hubungan saya dengan akses ke sosial media, dalam hal ini Facebook, Instagram dan lainnya. Saya merasakan apa yang dikenal dengan social media fatigue, sebuah keadaan dimana saya sudah lelah, bosan, jenuh dengan kehidupan, lingkaran pertemanan dan informasi yang beredar disosial media.
Sebenarnya sudah lama saya ingin melakukan ini, hanya saja memang tidak mudah. Ada banyak pertimbangan dan proses yang saya lalui sehingga akhirnya bisa bener-bener lepas dari dunia-persosial-mediaan ini.
Kalau kamu adalah freelancer atau punya teman seorang freelancer, kamu pasti sering liat joke, meme, atau bahkan beneran curhat terkait low budget project. Biasanya berisi obrolan antara si klien dan si freelancer yang mana si klien memberikan budget jasa pengerjaan suatu pekerjaan dengan sangat minim. Masalahnya adalah, apakah low budget project itu beneran kesalahan klien?…
Kalau kamu adalah freelancer atau punya teman seorang freelancer, kamu pasti sering liat joke, meme, atau bahkan beneran curhat terkait low budget project. Biasanya berisi obrolan antara si klien dan si freelancer yang mana si klien memberikan budget jasa pengerjaan suatu pekerjaan dengan sangat minim.
Masalahnya adalah, apakah low budget project itu beneran kesalahan klien? Sebelumnya, Low budget project adalah sebuah projek atau pekerjaan yang budget nya sangat minim (low) atau tidak sebanding dengan waktu, effort ataupun “modal” yang diperlukan untuk mengerjakan projek tersebut.
Bulan lalu saya telah menyampaikan hasil evaluasi menggunakan salah satu aplikasi favorit saya, Toggl (bisa dilihat di sini). Bisa dibilang hasilnya sesuai target tapi gak sesuai tujuan 🙂 ada banyak waktu yang terasa seperti hilang begitu saja tanpa record. So, bulan februari kemarin saya selain tetap menggunakan Toggl, saya juga menggunakan Rescue Time, sebuah aplikasi…
Bulan lalu saya telah menyampaikan hasil evaluasi menggunakan salah satu aplikasi favorit saya, Toggl (bisa dilihat di sini). Bisa dibilang hasilnya sesuai target tapi gak sesuai tujuan 🙂 ada banyak waktu yang terasa seperti hilang begitu saja tanpa record. So, bulan februari kemarin saya selain tetap menggunakan Toggl, saya juga menggunakan Rescue Time, sebuah aplikasi time tracker yang bekerja secara otomatis, gak perlu diklik, Rescue Time akan mentrack semua kegiatan yang dilakukan di depan laptop maupun pada smartphone.
Sebelum membahas Rescue Time, saya akan menyampaikan dulu hasil tracking menggunakan Toggl. Sebagai catatan, bulan sebelumnya (Januari) total work hours nya adalah 58 jam atau sekitar 2.5 jam kerja perharinya. Berikut adalah hasil record bulan Februari.
Total jam kerja 61 jam lebih, atau dibulatkan menjadi 62 jam. Kalau dibagi dengan 20 hari kerja, maka rata-rata perharinya menjadi 3 jam sekian!. Jadi dibalik misi saya untuk mengurangi jam kerja, bulan kemarin malah bertambah 30 menit-an perharinya, walaupun ya masih sesuai dengan misi yaitu gak lebih dari 4 jam.
Pertanyaannya, itu beneran “cuma” 61 jam sebulan?
Inilah saatnya Rescue Time beraksi. Berikut adalah total jam saya standby didepan laptop dan smartphone.
Ba dum ts, ternyata saya menghabiskan waktu 145 jam di depan laptop, dan 112 jam memandangi layar smartphone!
Hanya berdasarkan data ini, beberapa hal yang bisa disimpulkan:
Saya menggunakan Toggl hanya di laptop, dan asumsi bahwa saya gak pernah lupa me-mati-hidup-kan timernya, berarti ada 84 jam(145 jam – 61 jam) yang terpakai didepan laptop bukan untuk kerjaan.
84 jam gak jelas itu bahkan lebih banyak daripada jumlah jam yang dipakai kerja (61 jam).
Asumsi lain bahwa saya tidak menggunakan laptop dan ponsel ketika lagi quality time bareng keluarga, berarti ada 196 jam (84 jam + 112 jam) sebulan dimana saya ya gak kerja, ya gak juga ngumpul dengan keluarga, dan gak juga lagi tidur. Itu berarti sekitar 7 jam perhari! (196 jam / 28 hari)
Sekarang ditotalin semuanya, berarti ada 257 jam (145 jam + 112 jam) sebulan yang terpakai diluar quality time bareng keluarga, atau sekitar 9 jam lebih dikit perharinya (257 jam / 28 hari). Hasil ini kurang lebih sama dan cenderung lebih banyak dibandingkan dengan waktu yang dihabiskan teman-teman yang bekerja fulltime sebagai tenaga kerja kantoran (8 jam)!
Sebagai programmer yang sudah biasa liat data, saya percaya bahwa data gak bohong, dan berdasarkan data-data dan hasil kalkulasi diatas, bisa disimpulkan saya gak produktif seperti yang saya bayangkan 🙁
Tentu saja ini hasil yang mengecewakan karena salah satu alasan utama menjadi freelancer yang bisa bekerja secara remote dan jam kerja yang fleksibel adalah untuk bisa menghabiskan waktu lebih banyak bersama keluarga, atau mengerjakan apapun selain “kerja”. Namun ternyata hasil dari evaluasi ini berkata sebaliknya.
Belum cukup sampai disitu, saya mencoba melihat lebih detail kemana sih jam-jam itu terpakai, ini salah satu keuntungan sistem auto tracking dari Rescue Time.
Summary:
So yeah, hanya 25% yang dipakai kerja, selebihnya dipakai buat entertainment, news dan social media. fiuh.
Hmm, jadi ini adalah daftar 10 aplikasi dimana saya menghabiskan waktu paling banyak.
30% Entertainment ternyata dihabiskan untuk game (Top Eleven, SimCity, dll) dan juga iFlix.
11% News adalah reddit.com!
10% Social media tentu saja kombinasi instagram, facebook dan lainnya
3 dari 5 aplikasi yang paling banyak menghabiskan waktu adalah Top Eleven, iFlix dan juga SimCity, ini berarti fix: saya kebanyakan main hape!
Selain itu saya juga gak sadar ternyata aksi “cuma ngintip bentar doang” di Reddit dan Facebook memakan waktu yang lumayan juga.
Berikut rincian berdasarkan perangkat yang digunakan: (sayangnya saya gak ketemu gimana cara melihat keseluruhan list selain top 10)
Jadi begitulah hasil evaluasi saya, ternyata saya gak se-produktif yang saya kira. Untungnya dengan data ini, saya jadi tahu apa saja yang membuat saya gak produktif, menghabiskan banyak waktu, sehingga punya landasan untuk memperbaiki diri.
Data ini juga memberikan informasi bahwa goal saya tahun ini untuk mengurangi jam kerja sesungguhnya salah arah, bukan jam kerja yang menghalangi saya untuk melakukan hal lain diluar kerjaan, tapi efektifitas menggunakan waktu, terutama waktu kerja.
Kamu gimana? sudah mulai menghitung jam yang kamu habiskan tiap harinya?
Ini adalah review dari buku berjudul “Stop Thinking Like A freelancer” yang ditulis oleh Liam Veitch. Si Om Veitch ini adalah seorang freelance web designer yang tadinya bekerja secara freelance, kemudian jadi karyawan fulltime, kemudian balik jadi freelancer lagi. Berdasarkan pengalaman tersebut, menurut Veitch, kebanyakan freelancer hanya memandang pekerjaannya sebagai “hobi” yang dibayar, bukan sebagai…
Ini adalah review dari buku berjudul “Stop Thinking Like A freelancer” yang ditulis oleh Liam Veitch. Si Om Veitch ini adalah seorang freelance web designer yang tadinya bekerja secara freelance, kemudian jadi karyawan fulltime, kemudian balik jadi freelancer lagi. Berdasarkan pengalaman tersebut, menurut Veitch, kebanyakan freelancer hanya memandang pekerjaannya sebagai “hobi” yang dibayar, bukan sebagai bisnis yang berjalan layaknya sebuah perusahaan. Oleh karena itu, freelancer mesti berevolusi, menaikkan level, agar tidak menghadapi masalah yang sudah sering dihadapi freelancer lainnya.
Di dalam Buku ini Veitch menjelaskan 5 fase evolusi seorang freelancer untuk menjadi “freelancer yang lebih baik”. Saya merangkum 5 fase tersebut sebagai berikut:
Salah satu resolusi saya tahun ini adalah bekerja gak lebih dari 20 jam seminggu. Ide nya, dengan membatasi jam kerja tersebut, saya akan lebih fokus dan mengerjakan apa-apa yang memang worth buat dikerjakan. Idealnya, 20 seminggu itu bisa di capai dengan kerja maksimal 4 jam selama 5 hari, umumnya bakal bekerja senin sampai jum’at dengan…
Salah satu resolusi saya tahun ini adalah bekerja gak lebih dari 20 jam seminggu. Ide nya, dengan membatasi jam kerja tersebut, saya akan lebih fokus dan mengerjakan apa-apa yang memang worth buat dikerjakan. Idealnya, 20 seminggu itu bisa di capai dengan kerja maksimal 4 jam selama 5 hari, umumnya bakal bekerja senin sampai jum’at dengan masing-masing selama 4 jam, dan libur di hari sabtu dan minggu. Nah, kali ini saya ingin me-review pencapaian saya tersebut dibulan Januari kemarin.
Berdasarkan hasil time tracking menggunakan toggl, selama bulan Januari kemarin saya “bekerja” selama total 57 jam dan 11 menit. Kalau dibulatkan jadi 58 jam, lalu di bagi dengan 23 hari kerja selama bulan januari, maka rata-rata perhari saya bekerja selama 2.5 jam!. So secara goal, ini sudah tercapai nih, setidaknya untuk bulan januari. Berdasarkan data tersebut, ada kesimpulan yang saya pikir jadi catatan buat saya.
Jam kerja saya sungguh sangat tidak beraturan 🙂
Terlihat bahwa ada kalanya saya bekerja di sabtu minggu, bahkan di 12 hari pertama, saya bekerja tanpa libur, sebelum akhirnya mengistirhatkan diri dengan libur total selama 3 hari dan diikuti dengan beberapa hari jam kerja minimal.
Saya memang memilih gak berlibur di hari sabtu atau minggu, saya lebih memilih berlibur di hari lain, alasannya karena ya kalau sabtu atau minggu, kebanyakan orang juga pada libur dan mau kemana-mana bakal penuh, di sisi lain ketika hari kerja, kemana-mana pada longgar, gak perlu ngantri 🙂
Saya masih belum sempet ngerjain personal projek.
58 jam dihabiskan untuk mengerjakan projek freelance untuk orang lain, saya masih tetap “freelancer” biasa, padahal salah satu alasan kenapa membatasi jam kerja adalah supaya bisa punya waktu mengerjakan projek pribadi, but turn out it’s not that simple.
Jam kerja sudah minimal, tapi rasanya masih sibuk.
Ini yang jadi misteri, saya merasa saya masih seperti biasa, masih merasa sibuk dan dikejar-kejar tugas, bahkan saya merasa quality time bareng keluarga juga gak bertambah, ya biasa aja.
Jadi ya seperti itu, secara goal sudah tercapai, tapi dari sisi manfaat belum kerasa, saya merasa ada banyak jam yang terbuang bukan untuk pekerjaan, bukan untuk personal thing, bahkan juga bukan buat keluarga, it’s mean ada banyak jam yang hilang secara misterius dengan sia-sia. Masalahnya adalah, umumnya kita gak pernah sadar ketika membuang jam secara sia-sia, semuanya terasa baik-baik saja, sampai “lupa waktu”.
Untuk mencari lebih jauh tentang jam-jam yang hilang misterius ini, saya menginstall Rescue Time, sebuah aplikasi auto time tracking yang bisa di install di laptop dan smartphone. Tidak seperti toggl yang hanya melakukan tracking ketika kita memang ingin di tracking, Rescue Time melakukan tracking secara otomatis, semua kegiatan akan di record. Sebenarnya saya tidak terlalu suka dengan sistem tracking otomatis, apalagi oleh pihak ke 3 seperti ini, but saya pikir ini worth buat dicoba.
Sudah pernah coba nge-track jam kerja mu? cobain deh.