Normal yang seharusnya

New normal, sigh, saya gak suka banget mendengar kata ini. Terkesan berlebihan, seperti seakan-akan tatanan kehidupan berubah sepenuhnya.

Saya aware dengan keadaan pandemi, bahkan hitungannya cukup perhatian dan menjaga banget, saya tidak seperti beberapa orang yang menganggap pandemi ini cuma isu-isu elite global. Saya percaya virus ini beneran berbahaya.

Walaupun begitu, saya tidak cocok dengan istilah new normal ini.

Kalau seandainya Thanos datang beneran ke bumi, jentik jari dengan infinity gauntletnya, 50% penduduk bumi hilang, itu baru keadaan dimana kita butuh ‘new normal’.

Bagaimana dengan virus dan pandemi yang terjadi saat ini? “biasa saja”, secara history manusia sudah beberapa kali melewati masa pandemi, dan semuanya berjalan baik-baik saja.

Singkatnya, new normal yang dimaksud disini adalah protokol baru kegiatan sehari-hari untuk menjaga kesehatan dan penyebaran virus covid-19.

Masalahnya apakah poin-poin protokol yang ada dalam panduan ‘new normal’ adalah beneran ‘new’?

Menggunakan masker, terutama untuk si sakit. Ini bukan ‘new’, memang seharusnya seperti itu. Ini harusnya adalah etika, ketika kamu sakit, terutama penyakit yang bisa menular melalui droplet seperti pilek, batuk dan lainnya, ya memang harusnya pakai masker supaya tidak menganggu dan memberikan resiko orang lain atau lawan bicara mu ikutan sakit.

Mencuci tangan dan menjalankan protokol kebersihan dasar juga bukan ‘new normal’, itu adalah kegiatan yang memang seharusnya dilakukan dan dipraktekkan oleh masyarakat luas. kegiatan ini disebut ‘kebersihan dasar’ karena memang mudah dan tidak perlu banyak effort untuk melakukan, tapi kita mengabaikan ini, perlu pandemi untuk mengingatkan kita kembali tentang praktek sederhana ini.

Menjaga jarak di keramaian, ini bukan new normal, ini ya memang seperti itu seharusnya, kalau bisa. Lagian siapa sih yang suka desak-desak-an? secara kenyamanan orang akan memilih untuk tidak berdesak-desak-an atau berada di tempat keramaian. Masalahnya, di lapangan ada banyak hal yang membuat kita tidak bisa memilih untuk tidak berdesak-desakkan. Naik kendaraan umum, pergi ke pasar, konser, tempat wisata, adalah beberapa contoh kegiatan yang mau tidak mau harus akrab dengan ngedusel.

Apakah ‘new normal’ bisa membantu memberikan space untuk kegiatan-kegiatan tersebut? apakah orang-orang dalam kegiatan tersebut mau patuh menjaga jarak dalam kegiatan seperti itu?

Bagaimana dengan perkantoran atau ruang sekolah? ya tentu saja bisa diatur supaya jarak dapat tercipta, tapi berarti perlu penambahan ruangan dan gedung baru!

Mengurangi pertemuan fisik, memanfaatkan teknologi seperti video conference untuk mengurangi pertemuan fisik. Ini juga bukan new normal, ya memang seharusnya seperti itu, itu namanya efisensi.

Teknologi video call bukan hal baru, sudah umum digunakan, tapi tetap saja beberapa diantara kita lebih memilih pertemuan fisik, bahkan untuk hal yang tidak terlalu penting, atau tidak worth dengan effort dan cost untuk melakukan pertemuan fisik. Kalau beberapa hal bisa dilakukan secara jarak jauh, buat apa memaksakan diri untuk mengadakan pertemuan fisik? (yey, hidup kerja remote!)


That’s it, saya pikir protokol new normal itu overrated banget, semua sudah paham dan tentunya ingin menjaga kesehatan diri sendiri dan orang tercinta. Tidak perlu dihebohkan secara berlebihan, adapun orang yang ngeyel, ya mereka bakal tetap ngeyel, bahkan seandainya new normal itu jadi kewajiban dan punya sanksi tegas, orang-orang ngeyel tetap akan mencari celah untuk mengabaikannya.


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *