• January 2022

    Tidak seperti biasanya, tahun 2022 diawali dengan sedikit pelan, tidak bersemangat dan malah haru. Dari sisi kerjaan, kantor sedang melakukan rilis besar bulan januari lalu, sehingga seluruh tim fokus untuk memastikan proses berjalan lancar, tidak banyak masalah/bug, dan memastikan proses bugfixing berlangsung cepat. Karena saya tidak terlibat dalam rilis tersebut,…

    selanjutnya

    Tidak seperti biasanya, tahun 2022 diawali dengan sedikit pelan, tidak bersemangat dan malah haru.

    Dari sisi kerjaan, kantor sedang melakukan rilis besar bulan januari lalu, sehingga seluruh tim fokus untuk memastikan proses berjalan lancar, tidak banyak masalah/bug, dan memastikan proses bugfixing berlangsung cepat. Karena saya tidak terlibat dalam rilis tersebut, saya merasa sedikit terasingkan :D, but no worries, saya sedang mengerjakan projek yang akan kemungkinan dirilis bulan maret nanti, so buckle up 😉

    Selain pekerjaan kantor, saya juga memulai beberapa projek personal, ya, “beberapa”, ada 2-3 ide yang sudah dimulai dan semuanya berhenti ditengah jalan, masalah komitmen sepertinya masih jadi momok.

    Lalu juga ada mini game Wordle dan Katla yang belakangan jadi hype banget, saya selalu berlomba dengan istri saya setiap pagi 😀

    Di sisi lain, Ayah mertua saya meninggal. Tentu saja ini menjadi sangat haru sekali. Saya dan keluarga selalu berkunjung setiap beberapa hari, bahkan sebelum meninggal kami sempat ada disana, seperti biasanya, ketika malam kami sempat ijin pamit untuk pulang, sesampainya di rumah, kami tidur dan tiba-tiba dibangunkan dan dikabarkan ditengah malam bahwa ya ayah mertua sudah tiada.

    Ibu mertua masih ada, sehat dan baik-baik saja, tapi tentu saja kunjungan kesana akan menjadi terasa berbeda.

    Jujur saja, melihat semua prosesi pemakaman, dan pengurusan setelah meninggal, membuat saya mempertanyakan kembali apa yang sudah saya siapkan kalau tiba-tiba saya tiada. Ini seperti sebuah teguran keras untuk saya pribadi karena sejujurnya saya tidak siap :(. Saya sangat tidak berarti apa-apa jika dibandingkan dengan beliau.

    Semoga beliau bisa tenang disana, dosanya diampuni, dan semua ibadah dan amal baiknya diterima.

  • Halo, 2022

    Ah sudah 2022, dan ini adalah rekap tahunan yang biasa dilakukan tiap tahun sebelumnya (2021, 2020, 2018), walaupun ya cukup acak. Pada tingkat ini saya pikir blog ini isinya cuma rekap tahunan 😀 karena memang belakangan terutama tahun 2021 jumlah postingan baru cuma 2 post! Jadi apa sih yang terjadi…

    selanjutnya

    Ah sudah 2022, dan ini adalah rekap tahunan yang biasa dilakukan tiap tahun sebelumnya (2021, 2020, 2018), walaupun ya cukup acak.

    Pada tingkat ini saya pikir blog ini isinya cuma rekap tahunan 😀 karena memang belakangan terutama tahun 2021 jumlah postingan baru cuma 2 post!

    Jadi apa sih yang terjadi di 2021?

    Struggling, jujur saja, finansial sedang tidak baik dan lanjut ke semua permasalahan lain. Saya merasa seperti tahun-tahun awal freelancing, dimana masih mencari projekan kanan kiri, dan saya menyadari bahwa keadaan itu tidak reliable lah.

    Side Project yang saya kerjakan bersama partner di akhir 2020 juga tidak kunjung selesai (bahkan sampai awal 2022 ini), dan sejujurnya saya juga jadi merasa tidak enak dengan semua pihak yang terlibat, apakah harusnya dihentikan saja?

    Di sisi lain, Q4 2021 sangat menarik, akhirnya saya memutuskan untuk balik ngantor, ya, saya bergabung dengan RunCloud, sebuah perusahaan digital yang berasal dari Malaysia. Remote tentu saja, karena itu adalah 1 dari 3 syarat utama yang selalu saya tanyakan setiap ada tawaran untuk balik ngantor.

    Tentu saja ini menjadi titik balik, karena saya sudah bekerja secara freelance selama kurang lebih 5 tahun, dan jujur saja, saya sangat menikmatinya. Hanya saja benar kata senior saya, bahwa ya 3 tahun itu waktu paling panjang seorang menjadi freelancer, 5 tahun sudah kelewatan dan bisa backfired kalau kelamaan, dan lagipula ya baru kerasa dan harus diakui, freelancing gak reliable untuk jangka panjang, saya sudah menyadari ini sejak membaca buku Stop thinking like Freelancer tapi ya gitu, keterusan.

    Ah, terus investasi saham gimana?

    Ya, postingan tahun lalu tentang ketertarikan saya dengan investasi saham terus berlanjut, pada tingkat ini, saya merasa sudah menemukan gaya investasi yang cocok buat personal saya sendiri, berikut juga ciri emiten yang sesuai dengan interest saya. Berdasarkan laporan dari sekuritas saya, tahun ini saya berhasil mendapatkan profit total 18%, salah satu emiten bahkan sampai profit 62%, dan ya tentu saja ada yang minus, terima kasih kepada diversifikasi, kerugiannya ketutup 🙂

    Bagaimana tahun 2022 ini?

    Saya gak terlalu yakin, tapi karena sekarang sudah bukan freelancer lagi, dan balik ke jam kerja normal, tentu saja ini akan banyak mempengaruhi siklus hidup :), tapi sisi positifnya akan jadi lebih terstruktur, walaupun ya belum tau, masih masa honeymoon soalnya, jadi masih serba enak saja.

    Saya akan tetap menyempatkan waktu untuk side project yang bersifat produk digital, semangat itu tetap ada, menjadi maker tetap menjadi goal saya yang belum terselesaikan dalam beberapa waktu terakhir.

    Ah, tahun ini juga si anak pertama sudah masuk usia sekolah SD, so yah, saya sama tidak sabarnya sama si anak nunggu nanti sekolah 🙂

  • Akhirnya, kena juga

    Akhirnya,  setelah hampir setahun lebih bertahan menjaga prokes, kena covid juga. Kami sekeluarga mungkin bukan orang yang paling ketat menjalankan prokes untuk melindungi diri dan keluarga fari covid, tapi kami cukup yakin banget sampai tampak seperti paranoid dihadapan orang-orang sekitar. Tapi tetep aja kena juga, dan malah jadi kecewa sekaligus…

    selanjutnya

    Akhirnya,  setelah hampir setahun lebih bertahan menjaga prokes, kena covid juga.

    Kami sekeluarga mungkin bukan orang yang paling ketat menjalankan prokes untuk melindungi diri dan keluarga fari covid, tapi kami cukup yakin banget sampai tampak seperti paranoid dihadapan orang-orang sekitar. Tapi tetep aja kena juga, dan malah jadi kecewa sekaligus bingung sendiri darimana kemungkinan tertularnya.

    Untungnya (tentu saja selalu ada nilai positif dari semua keadaan buruk)  cuma istri saja yang terdeteksi positif, dan gejalanya pun “hanya” tidak bisa mencium bau, tidak seperti teman atau keluarga lain yang sampai lemas dan mesti dirawat di rumah sakit.

    Ya, si Istri cukup isolasi mandiri di rumah, sedangkan saya dan anak-anak harus “mengungsi” dulu untuk sementara, setidaknya selama 14 hari.

    Hari ini sudah 7 hari berlalu, dan tampaknya keadaan tidak jadi lebih buruk, dan malah sepertinya membaik, semoga bagian terburuknya memang sudah terlewati.

    Salah satu hal yang saya masih kurang sreg adalah melakukan perawatan terhadap pasien covid. Sepertinya memang tidak ada yang bisa dilakukan selain tetep makan yang sehat, vitamin, dan berdoa. Serius, gak ada yang bisa dilakuin selain menunggu masa karantina berakhir.

  • Halo, 2021

    Ya ampun, sudah 2021, semuanya berjalan begitu saja, sampai-sampai postingan terakhir adalah Juni tahun lalu. Yeah, things got weird last year, 2020 kacau bener. Pandemi yang bahkan sampai sekarang sudah 1 tahun berlalu belum keliatan titik ujungnya. Tidak bisa dipungkiri membatasi semua aktifitas dan kegiatan sehari-hari, kehidupan berubah, dan lainnya.…

    selanjutnya

    Ya ampun, sudah 2021, semuanya berjalan begitu saja, sampai-sampai postingan terakhir adalah Juni tahun lalu.

    Yeah, things got weird last year, 2020 kacau bener. Pandemi yang bahkan sampai sekarang sudah 1 tahun berlalu belum keliatan titik ujungnya. Tidak bisa dipungkiri membatasi semua aktifitas dan kegiatan sehari-hari, kehidupan berubah, dan lainnya.

    Sebagai orang yang sudah lebih dari 5 tahun WFH, nyatanya tahun kemarin cukup bikin stress juga. Biasanya kalau mau refreshing bisa keluar dan jalan sebentar, sekarang jadi mikir-mikir, apalagi bawa anak-anak.

    Jadi, mana annual review untuk tahun 2020?

    Ya itu tadi, serba ribet haha.

    Dari sisi kerjaan, masih meneruskan trend tahun sebelumnya, bukan efek pandemi, beberapa pekerjaan berhenti dalam waktu barengan cukup membuat kapal terombang-ambing. Saya mengambil ini sebagai kesempatan untuk rehat dari kerjaan, belajar hal baru (React, Android development), bikin projek personal (yang gak kunjung beres).

    Karena bikin projek dan produk sendiri itu susah, maka saya saat ini saya join bareng temen lama untuk mengembangkan sebuah (3 ding) produk digital yang masih belum tau juga kapan beresnya. Mereka orang yang sangat berpengalaman dalam hal nelurin ide, building product, marketing, dan sejenisnya, saya fokus di bidang saya saja, bagian koding dan eksekusi sembari belajar dari mereka tentang gimana rilis produk digital.

    Di luar kerjaan, Saya malah tertarik pada 2 hal baru selama tahun 2020, pertama adalah Manchester United, yang mulai tahun kemarin ngikutin secara mendalam, nonton tiap match, ngikut komunitas /r/reddevils yang bisa dibilang komunitas Manchester United yang paling masuk akal. Tidak seperti nonton TV series atau film (yang mana saya juga masih suka banget), menonton pertandingan sepak bola itu praktis, 115 menit beres, dan ya sudah, gak bisa keterusan nonton lanjutan dan lainnya, yang ada langsung ke match thread di Reddit dan ikut euforia (kalau lagi menang).

    Selain itu saya juga mulai tertarik denvan Investasi saham, secara tidak sengaja, saya memulai di waktu yang tepat, awal ketika pandemi mulai masuk ke Indonesia, dimana sebagai investor pemula itu cukup memberi pelajaran berharga tentang kesabaran haha. Momen yang sangat penting untuk merasakan gelombang besar bearish sepanjang tahun lalu digantikan gelombang besar bullish akhir tahun 2020 dan awal tahun 2021, 1 periode yang sangat bersejarah buat saya pribadi.

    So how about 2021? Sejujurnya saya gak punya banyak target tahun ini karena jujurnya masih syok sama tahun kemarin haha. So let’s see what will happened at 2021 🙂

  • Normal yang seharusnya

    New normal, sigh, saya gak suka banget mendengar kata ini. Terkesan berlebihan, seperti seakan-akan tatanan kehidupan berubah sepenuhnya. Saya aware dengan keadaan pandemi, bahkan hitungannya cukup perhatian dan menjaga banget, saya tidak seperti beberapa orang yang menganggap pandemi ini cuma isu-isu elite global. Saya percaya virus ini beneran berbahaya. Walaupun…

    selanjutnya

    New normal, sigh, saya gak suka banget mendengar kata ini. Terkesan berlebihan, seperti seakan-akan tatanan kehidupan berubah sepenuhnya.

    Saya aware dengan keadaan pandemi, bahkan hitungannya cukup perhatian dan menjaga banget, saya tidak seperti beberapa orang yang menganggap pandemi ini cuma isu-isu elite global. Saya percaya virus ini beneran berbahaya.

    Walaupun begitu, saya tidak cocok dengan istilah new normal ini.

    Kalau seandainya Thanos datang beneran ke bumi, jentik jari dengan infinity gauntletnya, 50% penduduk bumi hilang, itu baru keadaan dimana kita butuh ‘new normal’.

    Bagaimana dengan virus dan pandemi yang terjadi saat ini? “biasa saja”, secara history manusia sudah beberapa kali melewati masa pandemi, dan semuanya berjalan baik-baik saja.

    Singkatnya, new normal yang dimaksud disini adalah protokol baru kegiatan sehari-hari untuk menjaga kesehatan dan penyebaran virus covid-19.

    Masalahnya apakah poin-poin protokol yang ada dalam panduan ‘new normal’ adalah beneran ‘new’?

    Menggunakan masker, terutama untuk si sakit. Ini bukan ‘new’, memang seharusnya seperti itu. Ini harusnya adalah etika, ketika kamu sakit, terutama penyakit yang bisa menular melalui droplet seperti pilek, batuk dan lainnya, ya memang harusnya pakai masker supaya tidak menganggu dan memberikan resiko orang lain atau lawan bicara mu ikutan sakit.

    Mencuci tangan dan menjalankan protokol kebersihan dasar juga bukan ‘new normal’, itu adalah kegiatan yang memang seharusnya dilakukan dan dipraktekkan oleh masyarakat luas. kegiatan ini disebut ‘kebersihan dasar’ karena memang mudah dan tidak perlu banyak effort untuk melakukan, tapi kita mengabaikan ini, perlu pandemi untuk mengingatkan kita kembali tentang praktek sederhana ini.

    Menjaga jarak di keramaian, ini bukan new normal, ini ya memang seperti itu seharusnya, kalau bisa. Lagian siapa sih yang suka desak-desak-an? secara kenyamanan orang akan memilih untuk tidak berdesak-desak-an atau berada di tempat keramaian. Masalahnya, di lapangan ada banyak hal yang membuat kita tidak bisa memilih untuk tidak berdesak-desakkan. Naik kendaraan umum, pergi ke pasar, konser, tempat wisata, adalah beberapa contoh kegiatan yang mau tidak mau harus akrab dengan ngedusel.

    Apakah ‘new normal’ bisa membantu memberikan space untuk kegiatan-kegiatan tersebut? apakah orang-orang dalam kegiatan tersebut mau patuh menjaga jarak dalam kegiatan seperti itu?

    Bagaimana dengan perkantoran atau ruang sekolah? ya tentu saja bisa diatur supaya jarak dapat tercipta, tapi berarti perlu penambahan ruangan dan gedung baru!

    Mengurangi pertemuan fisik, memanfaatkan teknologi seperti video conference untuk mengurangi pertemuan fisik. Ini juga bukan new normal, ya memang seharusnya seperti itu, itu namanya efisensi.

    Teknologi video call bukan hal baru, sudah umum digunakan, tapi tetap saja beberapa diantara kita lebih memilih pertemuan fisik, bahkan untuk hal yang tidak terlalu penting, atau tidak worth dengan effort dan cost untuk melakukan pertemuan fisik. Kalau beberapa hal bisa dilakukan secara jarak jauh, buat apa memaksakan diri untuk mengadakan pertemuan fisik? (yey, hidup kerja remote!)


    That’s it, saya pikir protokol new normal itu overrated banget, semua sudah paham dan tentunya ingin menjaga kesehatan diri sendiri dan orang tercinta. Tidak perlu dihebohkan secara berlebihan, adapun orang yang ngeyel, ya mereka bakal tetap ngeyel, bahkan seandainya new normal itu jadi kewajiban dan punya sanksi tegas, orang-orang ngeyel tetap akan mencari celah untuk mengabaikannya.

  • Ramadhan 1441 H

    Seperti diketahui bersama, Ramadhan tahun ini sungguh berbeda. Ramadhan di tengah pandemi, telah merubah aktifitas dan kegiatan umat muslim menjalani Ramadhan kali ini. Sejak pandemi mulai muncul dibulang Maret, saya tahu ini tidak akan berakhir dengan cepat, selain karena merupakan penyakit dengan jenis baru, dan juga tingkat penyebaran yang cepat,…

    selanjutnya

    Seperti diketahui bersama, Ramadhan tahun ini sungguh berbeda. Ramadhan di tengah pandemi, telah merubah aktifitas dan kegiatan umat muslim menjalani Ramadhan kali ini.

    Sejak pandemi mulai muncul dibulang Maret, saya tahu ini tidak akan berakhir dengan cepat, selain karena merupakan penyakit dengan jenis baru, dan juga tingkat penyebaran yang cepat, pandemi ini menyerang titik vital masyarakat, yaitu aktifitas sosial. Jadi masalah karena bulan Ramadhan terbukti meningkatkan kegiatan sosial masyarakat dan mencapai puncaknya pada hari raya Idul Fitri. Semakin banyak kegiatan bersosialisasi, semakin banyak kemungkinan terjangkiti virus ini.

    Tanpa mengurangi rasa hormat dan empati terhadap para korban, keluarga pandemi, dan orang-orang yang terkena dampak pandemi secara langsung maupun tidak langsung, kalau ditelisik lebih jauh, pandemi telah membuka banyak hal yang kita pikir baik-baik saja, ternyata tidak.

    Pandemi telah membuka topeng tiap manusia.

    Pandemi telah memperlihatkan bagaimana beberapa orang mengedepankan ego, bahkan melebihi kesehatan atau nyawa sendiri, dan orang sekitar.

    Pandemi memperlihatkan mental sebagian orang yang merasa masa bodoh, acuh, tidak empati, kurang disiplin, dan tidak toleran.

    Pandemi memperlihatkan kurangnya literasi masyarakat.

    Pandemi memperlihatkan bahwa kegiatan buka bersama, sahur on the road, halal bihalal bukanlah hal penting, kurang berguna dan tidak mengapa untuk ditinggalkan.

    Pandemi mengingatkan tarawih bisa dilakukan di rumah bersama keluarga.

    Pandemi mendukung kegiatan stay at home, untuk orang-orang yang tidak punya kepentingan keluar rumah di bulan Ramadhan.

    Pendemi mengajak kita mengingat kembali arti dan ketulusan beribadah.

    Pandemi memperlihatkan kualitas kepemimpinan dari setiap pemimpin daerah melalui keputusan dan tindakan-tindakan atas nama kepentingan bersama.

    Pandemi menunjukkan ketidaksiapan kita dari sisi fasilitas kesehatan untuk memberikan perawatan kepada masyarakat.

    Pandemi menunjukkan ketidakrataan kualitas hidup setiap orang untuk tinggal dirumah.

    Pandemi mengingatkankan untuk kembali menjaga kebersihan dengan kegiatan sesederhana mencuci tangan, menggunakan masker untuk si sakit.

    Pandemi menunjukkan beberapa hal bisa dioptimasi dengan video call untuk mengurangi kunjungan kerja, dan menghemat waktu.

    Pandemi menunjukkan bahwa pembelajaran online sangat bisa dilakukan.

    Pandemi menunjukkan teknologi mampu membantu mengurai dan memudahkan birokrasi kantor dan dinas yang rumit.

    Pandemi menunjukkan kualitas udara bisa membaik dengan berkurangnya aktifitas lalu-lintas.

    Pandemi menunjukkan para pekerja seperti ojek online, kasir, penjual makanan lokal adalah pekerja esensial yang sangat kita butuhkan.

    Pandemi menunjukkan keberanian dan ketulusan dokter dan perawat dalam menghadapi korban-korban pandemi.

    Pandemi mengingatkan saya secara pribadi untuk bersyukur bisa bekerja dari rumah.

    Pandemi memperlihatkan bahwa ada beberapa orang yang gak punya pilihan selain harus tetap keluar rumah, bekerja demi kehidupan harian walaupun harus berhadapan dengan virus, dan ocehan netizen.

    Pandemi menunjukkan banyak hal, tapi memang harganya tidak murah, sudah ribuan korban untuk Indonesia, dan jutaan untuk dunia.

    Di bulan Ramadhan ini, bulan penuh ampunan, bulan penuh berkah, adalah momen yang tepat untuk merenungi dan bersyukur, atas semua kesehatan, kebaikan, kemudahan yang sudah didapat selama ini.

    Saya berharap semoga lebaran yang tinggal 2-3 hari ini, tidak melahirkan banyak kluster baru di berbagai daerah, semoga kita semua diberi perlindungan.

  • Demi Anak

    “Demi Anak” adalah sebuah mantra yang paling sering diucapkan oleh orang yang sudah berkeluarga. Mantra yang positif tentunya karena percaya atau tidak, kalimat ini bisa meningkatkan daya juang dan semangat beraktifitas. Malah kadang mantra ini bisa membuat orang lain menjadi maklum dan memberi ijin khusus kepada si pengucap mantra. Tidak…

    selanjutnya

    “Demi Anak” adalah sebuah mantra yang paling sering diucapkan oleh orang yang sudah berkeluarga. Mantra yang positif tentunya karena percaya atau tidak, kalimat ini bisa meningkatkan daya juang dan semangat beraktifitas. Malah kadang mantra ini bisa membuat orang lain menjadi maklum dan memberi ijin khusus kepada si pengucap mantra.

    Tidak bisa disalahkan, semua orang tua ingin yang terbaik untuk anak. Saya belum pernah mengerti hal ini, sampai akhirnya punya keluarga dan anak sendiri.

    Masalahnya, kita tidak pernah tahu seberapa tulus kalimat ini diucapkan, seberapa besar kesadaran dan keseriusan yang diperlukan ketika mengucapkan “Demi Anak”. Malah, kadang menjadikan kalimat ini sebagai pembenaran atas semua tindakan yang sebenarnya malah memberikan efek berlawanan dari tujuan awal kalimat ini diucapkan.

    Ada banyak orang yang bekerja keras “Demi Anak”, membuat anak bahagia, yang akhirnya malah tidak punya waktu untuk berkumpul dan berbahagia bersama anak dan keluarga.

    Ada banyak orang yang memberikan perlindungan ekstra, demi anak, supaya anaknya terlindungi dan terjaga, sampai lupa mengajarkan anak bertahan hidup di atas kaki sendiri.

    Ada banyak orang yang merencanakan masa depan anak jauh kedepan, demi anak, supaya anak tidak salah langkah, tidak tersesat, tapi lupa bahwa anak juga individu yang ingin dan mampu untuk hidup mandiri.

    Ada banyak kegiatan dan kesempatan yang harusnya bisa dilakukan dengan normal, tapi menjadi lebih kompleks dan terkesan grusa-grusu atas nama anak yang akhirnya malah menjadi kebalikan dari yang diharapkan.

    Jangan-jangan, kalimat “demi anak” adalah alasan dan pembenaran yang dibuat supaya apa yang dilakukan terlihat normal dan dibutuhkan.

    Perlu intropeksi diri, apakah kegiatan yang kita lakukan atas dasar “demi anak”, benar-benar untuk kepentingan anak, atau hanya pembenaran atas ketidakmampuan diri sendiri dalam mengatasi kondisi yang ada.

  • Kapan pandemi ini berakhir?

    Karena tentu saja, stay at home itu gak mudah, bahkan untuk saya dan keluarga yang sudah biasa melakukan ini. Sebagai programmer yang bekerja dari rumah sejak 7 tahun lalu, saya sekeluarga memang lebih banyak menghabiskan kegiatan sehari-hari dirumah. Istri saya juga tipe stay at home mom, anak-anak juga belum usia…

    selanjutnya

    Karena tentu saja, stay at home itu gak mudah, bahkan untuk saya dan keluarga yang sudah biasa melakukan ini.

    Sebagai programmer yang bekerja dari rumah sejak 7 tahun lalu, saya sekeluarga memang lebih banyak menghabiskan kegiatan sehari-hari dirumah. Istri saya juga tipe stay at home mom, anak-anak juga belum usia sekolah, jadi makin komplit dan ramai lah situasi di rumah.

    Kegiatan stay at home ini tentu jadi membosankan. Saya tidak ingat sejak kapan saya dan keluarga mulai menetapkan untuk mengurangi kegiatan diluar rumah terkait pandemi ini, sepertinya pertengahan bulan maret lalu, sudah 1 bulan lebih!

    Tentu saja bukan cuma saya yang bosan, ada banyak orang yang mengalami hal yang sama. Lebih parah, ada banyak orang yang terpaksa harus keluar rumah bukan karena bosan semata, tapi karena ya mesti bekerja dan melakukan kegiatan lain yang tidak bisa dilakukan dari rumah.

    Kegiatan stay at home ini bukan kegiatan yang mengada-ngada, saya mengerti tujuannya, flatten the curve, mengurangi kecepatan potensi penyebaran virus covid-19 ini. Karena penyebaran virus ini yang begitu cepat, dikhawatirkan akan banyak orang yang tertular dan menyebabkan rumah sakit over capacity, sehingga tidak bisa memberikan pelayanan terbaik kepada yang membutuhkan.

    Masalahnya kita tidak pernah tahu kapan pandemi berakhir. Ada banyak pakar dari berbagai bidang melakukan perhitungan, permodelan, penelitian dan kegiatan lainnya untuk memperkirakan kapan pandemi berakhir, dan tentunya tidak bisa memastikan mana yang paling benar sampai benar-benar berakhir.

    Dengan ketidak-tahuan tersebut, kita tidak pernah tau sampai kapan harus terus menjalankan kegiatan stay at home ini.

    Akan ada masa puncak titik kebosanan dan kesabaran ini. Masyarakat akhirnya akan sedikit demi sedikit longgar dan mengabaikan kegiatan ini. Saat itu terjadi, kita kembali ke sesi awal, kita kembali menjadi target penyebaran virus ini.

    Apalagi sekarang bulan ramadhan, lebaran idul fitri sudah didepan sana, saya pun sangat ingin menjalankan kegiatan yang biasa dilakukan di hari kemenangan tersebut. Tapi kalau mengingat akan banyak orang yang saling berkumpul, ditambah dengan puncak kebosanan melakukan kegiatan stay at home, saya jadi merinding sendiri membayangkannya.

    Saya pesimis pandemi akan berakhir dalam waktu dekat. Ya, Jakarta sudah menunjukkan perlambatan kasus penyebaran virus covid-19, tapi untuk yang di daerah, jumlah kasus justru perlahan meningkat, dan sebagai orang yang tinggal di daerah, saya cukup kuatir.

    Ya, ini bukan akhir dari dunia. Kita bisa melewatinya seperti semua permasalahan yang sudah-sudah. Tidak banyak yang bisa dilakukan untuk melawan penyebaran virus ini, yang bisa dilakukan hanya melakukan pertahanan, dan bertahan itu perlu kesabaran.

  • Nokia 105

    3 Minggu lalu smartphone saya hilang, dicuri lebih tepatnya, atas keteledoran saya sayangnya. Itu slot saku yang ada di bawah stir motor jenis matic itu memang bahaya banget, membuat kita terlena atas kemudahan menyimpan barang-barang penting, lalu lupa dan jadi sasaran empuk orang yang lewat. damn. Sampai sekarang belum sempat…

    selanjutnya

    3 Minggu lalu smartphone saya hilang, dicuri lebih tepatnya, atas keteledoran saya sayangnya. Itu slot saku yang ada di bawah stir motor jenis matic itu memang bahaya banget, membuat kita terlena atas kemudahan menyimpan barang-barang penting, lalu lupa dan jadi sasaran empuk orang yang lewat. damn.

    Sampai sekarang belum sempat beli smartphone baru, saya lebih memilih menggunakan salah satu ponsel lama yang ada di laci meja kerja, Nokia 105, ponsel yang dilengkapi dengan senter dan permainan ular itu.

    Dulu ponsel ini sebenarnya dibeli atas 1 tujuan, mengurangi ketergantungan saya terhadap smartphone.

    Karena ya tau sendiri zaman sekarang, kemana-mana selalu dibawa dan digunakan. Kalaupun tidak sedang digunakan melakukan panggilan telepon, smartphone bisa digunakan untuk mengikutin timeline sosial media, melihat postingan instagram, “eh si A sudah punya anak tuh”, main game dan lainnya.

    Saya sendiri sadar, hal itu salah, saya menggantinya dengan kegiatan positif, membaca ebook, baca artikel-artikel penting yang gak sempat kebaca, dan lainnya. Ujung-ujungnya sama saja, kecanduan informasi, gak bisa lepas dari smartphone.

    Ya iya, ada benefitnya, saya bisa tetap memantu Skype atau email saya, melihat daftar pekerjaan saya, menjawab klien dengan lebih cepat, bahkan ketika saya lagi makan atau berkumpul dengan keluarga, saya masih bisa tetap bekerja.

    Sebentar, ada yang salah disini.

    Ya, smartphone dengan kemampuan internet benar-benar menciptakan black hole yang akan menyita semua waktu kalau tidak dikendalikan dengan baik. Bukan cuma waktu, bahkan kebersamaan dan kehadiran orang-orang sekitar jadi tidak terasa.

    Jepret sana jepret sini, setiap ada momen indah dan bahagia, bukannya ikut serta dalam kebahagian, kita malah memilih keluar dari arus dan sibuk memotret dengan dalih “mengabadikan momen bahagia”.

    Saya sadar akan semua ini, saya sadar saya harus lebih baik, saya sudah mencoba melakukan uninstall aplikasi yang saya anggap tidak penting, memasang pengingat, pengontrol dan lain sebagainya. Tapi selalu ada masa kegagalan akan tiba dan kembali ke jurang ketergantungan smartphone.

    Itulah kenapa akhirnya saya memutuskan untuk membeli sebuah ponsel “dumbphone” ini, ponsel yang sangat tidak smart, yang bahkan tidak mampu mengambil alih waktu saya, membuat saya tidak lagi memperhatikan keadaannya, dan lebih punya sense untuk melihat keadaan sekitar.

    Waktu dibeli, ponsel ini berhasil mengembalikan kehidupan saya ke kehidupan yang seharusnya. Sayangnya lagi-lagi setelah beberapa waktu saya mulai punya alasan atau tepatnya mencari-cari alasan untuk kembali menggunakan smartphone dan menyimpan ponsel ini di laci meja.

    Sekarang, smartphone tersebut sudah hilang, saya kembali menggunakan ponsel Nokia ini, ponsel yang tidak memiliki fitur wah, tidak smart, namun saat ini saya yang mengontrol ponsel saya bukan sebaliknya.

  • Memantau pegawai yang bekerja secara remote

    Ini adalah salah dua dari sekian hal yang sering ditanyakan kepada saya, baik di IRL maupun melalui halaman kontak saya, belakangan muncul lagi pertanyaan ini karena ya momennya saat ini (tahu sendiri, covid-19) dimana keadaan memaksa sebagian orang bekerja secara remote atau juga Work From Home (WFH) Sebelum saya bekerja…

    selanjutnya

    Ini adalah salah dua dari sekian hal yang sering ditanyakan kepada saya, baik di IRL maupun melalui halaman kontak saya, belakangan muncul lagi pertanyaan ini karena ya momennya saat ini (tahu sendiri, covid-19) dimana keadaan memaksa sebagian orang bekerja secara remote atau juga Work From Home (WFH)

    Sebelum saya bekerja sebagai freelance, saya dulunya juga sempat bekerja pada beberapa tempat yang memberikan kelelulasaan untuk bekerja secara remote. Dari sekian banyak tempat tersebut, masing-masing punya cara tersendiri untuk “memantau” bagaimana saya dan rekan-rekan kerja bekerja.

    Ada banyak cara untuk memantau pegawai yang work from home, aka kerja dari rumah aka kerja remote, namun sebenarnya berdasarkan pengalaman, sebelum menentukan bagaimana memantau rekan kerja, perlu untuk melihat balik lagi, kenapa perlu dilakukan pemantauan.

    Iya, mesti tahu dan jelas dulu, apa sih yang dikuatirkan dari pegawai yang bekerja secara remote? Setelah tahu apa yang ingin dikejar dan tujuan dari pemantauan, baru bisa ditentukan mana proses pemantauan yang diperlukan.

    Berikut adalah 3 cara yang bisa dilakukan untuk memantau pegawai yang bekerja secara remote, disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai.

    Dibaca sampai akhir ya.

    Mengetahui segala kegiatan pegawai

    Salah satu tempat kerja saya dulu punya intensi seperti ini, so para pekerja diharuskan menginstal aplikasi screen recorder, tujuannya supaya manajer bisa melihat apakah kita beneran kerja atau tidak.

    Bonus point: manajer bisa melihat isi email saya, pesan facebook saya, rekening bank, daftar belanjaan saya.

    Ada juga teman yang cerita ketika diharuskan bekerja secara remote dimasa pandemi ini, dia diharuskan untuk memasang dan menghidupkan webcam/cctv di ruangannya.

    Ya bagus sih, sekalian bisa melihat kegiatan anggota keluarga lainnya.

    Memastikan bekerja sesuai jumlah jam kerja

    Tempat kerja lain, saya sempat menggunakan sistem absensi, semacam di kantor-kantor gitu.

    Jadi ketika memulai jam kerja, jam 9 gitu, saya diharuskan membuka aplikasi absen (website), disitu saya bisa checkin. Lalu ketika sudah selesai, jam 5-an, saya harus checkout melalui aplikasi tersebut lagi.

    Aplikasi tersebut unik, kalau telat checkin, bisa-bisa saya di lock, jadi gak bisa check in, dan dianggap absen, gak masuk kerja. Tapi kalau telat checkout, misal karena kerjaan overtime, aplikasi nya fine-fine saja. Weekend, ketika ada keperluan mendesak, aplikasi ini tidak bisa dibuka karena settingannya cuma di weekday saja, jadi gak bisa absen di weekend.

    Di lain tempat, saya sempat menggunakan time tracker, baik yang manual seperti Toggle, ataupun yang otomatis seperti Rescue Time.

    Toggl mengharuskan penggunanya untuk tidak lupa menghidup-matikan time tracker, karena ya kalau lupa hidupin, tidak dianggap sebagai kerja.

    Rescue Time lebih mudah tapi agak agresif, pencatatan waktu secara otomatis. Jadi tidak perlu menghidup-matikan time tracker, secara otomatis akan dicatat berapa jam buka website ini, berapa jam buka aplikasi itu, dan lainnya.


    Itu tadi adalah 2 cara untuk memantau pegawai secara remote, bagaimana menurut mu?

    Memantau semua kegiatan pegawai pasti mengasyikkan, seakan punya mata dewa. Bisa melihat pegawai kerja beneran apa tidak, bisa melihat pegawai lagi buka website apa saja, pasti menyenangkan.

    Mengetahui jumlah jam kerja pegawai juga penting, iya kan? karena kalau pegawai tidak absen jam 9 pagi dan log out jam 5 sore, berarti pegawai tersebut tidak bekerja secara benar.

    Karena kesuksesan sebuah perusahaan dihitung dari jumlah jam kerja, iya kan?

    Sayangnya tidak demikian

    Seberapa banyak jam kerja yang digunakan, tidak menjamin produktifitas kerja. Malah sebenarnya jumlah jam kerja yang banyak namun tidak dibarengi dengan hasil kerja yang oke menunjukkan produktifias kerja yang tidak efektif.

    Percuma kalau check in dan check out tepat waktu, kalau diantara kedua waktu tersebut pegawainya tidur.

    Memonitor layar kerja atau bahkan memasang CCTV sekalipun tidak berguna, hanya menciptakan penjara kecil untuk pegawai, dan lagipula, apakah kamu tidak punya kesibukan lain selain mantengin layar pemantau?

    Jadi gimana dong?

    Nah, ini cara ke 3, cara yang menurut saya paling efektif.

    Daily Report

    laporan harian tentang apa yang sudah dikerjakan.

    Tidak harus harian juga sih, disesuaikan saja. Sebagai freelancer, walaupun tidak diharuskan, saya biasanya membuat laporan secara mingguan.

    Isi laporannya adalah tentang apa saja yang sudah dikerjakan, apa saja yang menjadi masalah, apa saja yang perlu diketahui rekan kerja lain, dan apa yang akan dilakukan periode berikutnya (besoknya atau minggu depannya).

    Tidak perlu tahu keberadaan pegawai, tidak perlu tahu berapa jam dan kapan pegawi bekerja, yang penting adalah tugas yang diserahkan sudah beres, hasilnya ada, bukankah hal itu jauh lebih penting dan berguna?

    Apakah pegawai dibayar untuk mengisi jam kerja atau ya, you know, menyelesaikan pekerjaan?

    Duduk standby di depan meja kerja selama 8 jam tidak berarti apa-apa kalau tidak menghasilkan sesuatu, tugas masih menumpuk, kerjaan tidak beres dan lainnya. Sebaliknya, kerja 4 jam tapi bisa menyelesaikan pekerjaan yang ditugaskan, itu namanya efisien.

    Cara ini juga mudah dilakukan karena bentuknya bermacam-macam, bisa disesuaikan dengan kebutuhan dan keadaan, tidak harus menggunakan aplikasi atau sistem yang gimana-gimana. Laporan bisa dikirim via email atau bahkan pesan WA.

    Di kantor saya yang terakhir menggunakan sistem standup meeting, dimana setiap sore hari pekerjanya bakal ngumpul terus saling memberikan laporan dan update tentang apa yang sudah dikerjakan hari itu.

    Sejujurnya, cara ini bisa jadi enak gak enak buat pegawai. Jadi enak kalau ya beneran kerja dan punya hal yang bisa dilaporkan, jadi gak enak kalau sudah hampir sore dan masih belum punya bahan atau kerjaan belum beres jadi gak punya sesuatu untuk dilaporkan.

    Positifnya, pembuatan laporan kerja memacu pegawai untuk bekerja lebih efisien. Juga membantu manajer untuk memiliki gambaran terkait progres pekerjaan yang berjalan.

    Jadi gimana, masih mau “memantau” pegawai?

  • Halo, 2020

    Sudah tahun 2020, sungguh perjalanan yang panjang di tahun 2019, tahun yang bisa dibilang tidak bersahabat dengan kehidupan saya. Kalau ada yang bilang bahwa roda kehidupan kadang diatas, kadang dibawah, tahun 2019 adalah roda terbawah kehidupan saya. 2019 adalah masa dimana saya benar-benar merasa kehidupan gak selalu ada di masa…

    selanjutnya

    Sudah tahun 2020, sungguh perjalanan yang panjang di tahun 2019, tahun yang bisa dibilang tidak bersahabat dengan kehidupan saya.

    Kalau ada yang bilang bahwa roda kehidupan kadang diatas, kadang dibawah, tahun 2019 adalah roda terbawah kehidupan saya. 2019 adalah masa dimana saya benar-benar merasa kehidupan gak selalu ada di masa jaya dan baik, ada masa mendung, hujan, jalan terjal dan lainnya. 2019 adalah masa saya untuk instropeksi diri dan kembali memikirkan rencana kehidupan dengan lebih matang.

    Ada beberapa masalah yang sebenarnya sudah terjadi sejak awal tahun 2019, tapi saya merasa saya bisa mengarungi dan melewati masalah, dengan gampang. Kenyataannya, malah menjadi bola salju yang terus bergulir makin heboh sampai akhir 2019. Baru beberapa minggu belakangan situasi mulai membaik.

    Dimulai dari pekerjaan, kalau tahun 2018 adalah tahun terbaik saya dari sisi pekerjaan, yang membuat saya terlena, tahun 2019 langsung berbalik arah, dan itu mempengaruhi semua sendi kehidupan. 2018 semuanya stabil, begitu 2019 oleng sedikit, semuanya menjadi terganggu dan kacau.

    Walaupun begitu, gak bisa dibilang 2019 selalu mendung, saya mendapatkan hadiah luar biasa, istri saya melahirkan anak kedua saya, yang mana juga sangat ikut berpengaruh pada roda kehidupan.

    Tidak perlu diragukan betapa bahagia dan sayang saya kepada anak kedua ini, tapi saya harus akui, mengurus balita itu tidak mudah, mengurus 2 balita itu berada di dimensi dunia komplikasi yang berbeda. Ya, anak pertama saya juga masih balita (4 tahun).

    “Ah, anak saya juga 2 ga, tapi gak ada masalah” – kata temen saya,

    Ya, bener, untuk beberapa orang ya gak masalah, dan sejujurnya bukan masalah juga buat saya, hanya saja sebagai pekerja remote, yang menghabiskan seluruh waktu dirumah, punya anak yang baru lahir itu perlu adapatasi baru, perlu kembali mengatur ritme kerja dan sebagainya.

    Saya bisa aja kerja di tempat lain, meninggalkan istri saya mengurus 2 balita sendiri, tapi sejujurnya itu bertentangan dengan prinsip saya, prinsip dasar kenapa saya memilih bekerja secara freelance sejak awal, yaitu tetap dekat dengan keluarga.

    Tapi ya begitulah, 2019 sudah berlalu, saya belajar banyak tentang kehidupan, in hard ways. Saya belajar banyak tentang mengelola waktu lebih baik, mengelola komitmen dan tanggung jawab, mengelola mood dan stress supaya tetap sadar, mengelola keuangan karena ternyata keuangan yang baik sangat mempengaruhi untuk membuat keputusan pekerjaan, kehidupan atau keputusan apapun lebih baik. Ya simple karena apapun yang dilakukan, ada backup yang bakal menopang ketika lagi masa sulit.

    Bagaimana dengan resolusi tahun 2019 yang sudah dibuat? 

    lupakan, sudah dilempar keluar jendela :). Terlalu sibuk melakukan berbagai macam tanggung jawab dan komitmen yang tidak diperkirakan akan muncul ketika membuat resolusi 2019.

    Jadi bagaimana dengan tahun 2020?

    Matahari mulai terbit, beberapa minggu akhir desember 2019 sudah mulai menunjukkan jalan yang cerah, saya percaya 2020 akan menjadi lebih baik, harus.

    Semua pelajaran di tahun 2019 sudah direkap dan direnungkan, saya sudah tahu hal yang membuat runyam. tahun 2020 sudah direncanakan dengan baik, beberapa hal telah dirubah, harapannya tahun 2020 bisa jadi lebih baik dan stabil.

    Sebenarnya saya tertarik dengan membuat public new year resolutions, saya sudah membuat Trello board untuk dibagikan, tujuannya bagus supaya ada pressure dan challenge untuk mewujudkannya, tapi karena terlalu banyak hal yang saya pikir masuk kategori personal dan privat, maka saya urungkan niat tersebut 🙂

  • Social Media Fatigue

    Beberapa waktu lalu saya memutuskan untuk menghentikan hubungan saya dengan akses ke sosial media, dalam hal ini Facebook, Instagram dan lainnya. Saya merasakan apa yang dikenal dengan social media fatigue, sebuah keadaan dimana saya sudah lelah, bosan, jenuh dengan kehidupan, lingkaran pertemanan dan informasi yang beredar disosial media. Sebenarnya sudah…

    selanjutnya

    Beberapa waktu lalu saya memutuskan untuk menghentikan hubungan saya dengan akses ke sosial media, dalam hal ini Facebook, Instagram dan lainnya. Saya merasakan apa yang dikenal dengan social media fatigue, sebuah keadaan dimana saya sudah lelah, bosan, jenuh dengan kehidupan, lingkaran pertemanan dan informasi yang beredar disosial media.

    Sebenarnya sudah lama saya ingin melakukan ini, hanya saja memang tidak mudah. Ada banyak pertimbangan dan proses yang saya lalui sehingga akhirnya bisa bener-bener lepas dari dunia-persosial-mediaan ini.

    (lebih…)

  • adukan.id : Laporkan konten negatif di dunia maya dengan lebih mudah

    Beberapa waktu lalu saya merilis sebuah website bernama adukan.id, website yang akan membantu masyarakat untuk melaporkan segala macam bentuk konten negatif yang ada di dunia maya. Tadinya adukan.id saya buat karena ingin melaporkan penipuan via SMS yang begitu marak, beberapa memiliki website yang membuat beberapa orang mungkin mempercayainya. Pada pengembangannya,…

    selanjutnya

    Beberapa waktu lalu saya merilis sebuah website bernama adukan.id, website yang akan membantu masyarakat untuk melaporkan segala macam bentuk konten negatif yang ada di dunia maya. Tadinya adukan.id saya buat karena ingin melaporkan penipuan via SMS yang begitu marak, beberapa memiliki website yang membuat beberapa orang mungkin mempercayainya. Pada pengembangannya, saya berpikir untuk tidak sampai disitu, tapi juga bisa menjadi tempat aduan “konten negatif” lainnya seperti Hoax, Pornografi dan berbagai macam postingan / foto / website / blog yang mungkin merugikan atau bahkan membahayakan orang lain.

    Prosedur pelaporan konten negatif seperti ini sebenarnnya sudah ada, hanya saja agak ribet dan membingungkan. Dengan googling sebentar, akan ada banyak blog yang memberikan cara untuk melaporkan hal tersebut, sebagian besar memberikan saran membuat laporan di Diskominfo, Trust+ Internet Postif, Cyber Crime POLRI, OJK, Operator Layanan Selular bahkan pihak Bank, Ribet!. Dengan adanya adukan.id, prosedur untuk membuat laporan menjadi jauh lebih mudah, karena ya kalau mau buat laporan saja susah, ribet dan bingung bisa jadi makin sedikit orang yang ingin melaporkan sebuah masalah.

    Adukan.id membantu prosedur pembuatan laporan menjadi lebih mudah, para pelapor cukup buka website adukan.id, isi form yang tersedia, kelar. Di belakang layar, by system adukan.id akan mengecek, memverifikasi dan memfilter laporan tersebut lalu mengirimkan laporan kepada pihak-pihak yang terkait secara sekaligus! misal untuk sebuah SMS penipuan, maka secara otomatis nomor yang digunakan penipu akan dikirimkan ke Operator Layanan Selular, URL / Website yang ada di SMS bisa di forward ke Internet Positif, dan kalau ada nomor rekening yang digunakan bisa dikirimkan ke pihak OJK dan Bank terkait, dan kalau memang level yang berbahaya, bisa di teruskan juga ke Cyber Crime Polri, semuanya dilakukan secara otomatis.

    Tentu saja ada banyak celah prosedur di sini, paling kerasa adalah menentukan sebuah “konten negatif”. Kalau untuk scammer / penipuan, semua pasti sepakat bahwa hal tersebut masuk ke “konten negatif” yang perlu ditindaklanjuti. Permasalahnya adalah pada “konten negatif” seperti hoax, ujaran kebencian, pornografi, dan “hal negatif” lainnya, untuk beberapa orang mungkin sebuah konten masuk kategori negatif, tapi untuk orang lain bisa saja hal yang biasa atau masih bisa dimaklumi. Ini adalah PR buat saya pribadi untuk menentukan sistem verifikasi ini, beberapa masukkan yang paling bisa dieksekusi adalah dengan sistem verifikasi secara crowdsourcing, alias masyarakat juga bisa membantu memberikan verifikasi dan pendapat apakah sebuah konten bersifat negatif atau tidak.

    Masalah lain adalah bagaimana memastikan sebuah laporan tersebut sudah diterima atau malah diproses oleh pihak terkait, karena gak sedikit yang menanyakan apa yang terjadi setelah laporan? apakah sudah gitu aja? apakah pasti sampai? apakah pasti diproses? sesungguhnya ini adalah diluar kemampuan adukan.id karena adukan.id hanya melaporkan saja, pihak-pihak terkaitlah yang punya kuasa untuk memproses. Walaupun begitu tetap saja ini menjadi konsen bagi saya maupun pengguna adukan.id

    Masih ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk adukan.id, tapi untuk saat ini fokus utamanya adalah bagaimana membuat laporan secara lebih mudah, untuk 2 masalah tadi sepertinya akan dihandle di versi berikutnya.

    So kalau kamu mendapatkan atau melihat sebuah konten negatif yang bisa merugikan atau membahayakan orang lain, jangan diam saja, adukan!

    buka adukan.id

  • Tentang low budget project

    Kalau kamu adalah freelancer atau punya teman seorang freelancer, kamu pasti sering liat joke, meme, atau bahkan beneran curhat terkait low budget project. Biasanya berisi obrolan antara si klien dan si freelancer yang mana si klien memberikan budget jasa pengerjaan suatu pekerjaan dengan sangat minim. Masalahnya adalah, apakah low budget…

    selanjutnya

    Kalau kamu adalah freelancer atau punya teman seorang freelancer, kamu pasti sering liat joke, meme, atau bahkan beneran curhat terkait low budget project. Biasanya berisi obrolan antara si klien dan si freelancer yang mana si klien memberikan budget jasa pengerjaan suatu pekerjaan dengan sangat minim.

    Masalahnya adalah, apakah low budget project itu beneran kesalahan klien? Sebelumnya, Low budget project adalah sebuah projek atau pekerjaan yang budget nya sangat minim (low) atau tidak sebanding dengan waktu, effort ataupun “modal” yang diperlukan untuk mengerjakan projek tersebut.

    (lebih…)

  • Mengevaluasi jam kerja menggunakan Rescue Time

    Bulan lalu saya telah menyampaikan hasil evaluasi menggunakan salah satu aplikasi favorit saya, Toggl (bisa dilihat di sini).  Bisa dibilang hasilnya sesuai target tapi gak sesuai tujuan 🙂 ada banyak waktu yang terasa seperti hilang begitu saja tanpa record. So, bulan februari kemarin saya selain tetap menggunakan Toggl, saya juga…

    selanjutnya

    Bulan lalu saya telah menyampaikan hasil evaluasi menggunakan salah satu aplikasi favorit saya, Toggl (bisa dilihat di sini).  Bisa dibilang hasilnya sesuai target tapi gak sesuai tujuan 🙂 ada banyak waktu yang terasa seperti hilang begitu saja tanpa record. So, bulan februari kemarin saya selain tetap menggunakan Toggl, saya juga menggunakan Rescue Time, sebuah aplikasi time tracker yang bekerja secara otomatis, gak perlu diklik, Rescue Time akan mentrack semua kegiatan yang dilakukan di depan laptop maupun pada smartphone.

    Sebelum membahas Rescue Time, saya akan menyampaikan dulu hasil tracking menggunakan Toggl. Sebagai catatan, bulan sebelumnya (Januari) total work hours nya adalah 58 jam atau sekitar 2.5 jam kerja perharinya. Berikut adalah hasil record bulan Februari.

    Total jam kerja 61 jam lebih, atau dibulatkan menjadi 62 jam. Kalau dibagi dengan 20 hari kerja, maka rata-rata perharinya menjadi 3 jam sekian!. Jadi dibalik misi saya untuk mengurangi jam kerja, bulan kemarin malah bertambah 30 menit-an perharinya,  walaupun ya masih sesuai dengan misi yaitu gak lebih dari 4 jam.

    Pertanyaannya, itu beneran “cuma” 61 jam sebulan?

    Inilah saatnya Rescue Time beraksi. Berikut adalah total jam saya standby didepan laptop dan smartphone.

    Ba dum ts, ternyata saya menghabiskan waktu 145 jam di depan laptop, dan 112 jam memandangi layar smartphone!

    Hanya berdasarkan data ini, beberapa hal yang bisa disimpulkan:

    1. Saya menggunakan Toggl hanya di laptop, dan asumsi bahwa saya gak pernah lupa me-mati-hidup-kan timernya, berarti ada 84 jam(145 jam – 61 jam) yang terpakai didepan laptop bukan untuk kerjaan.
    2. 84 jam gak jelas itu bahkan lebih banyak daripada jumlah jam yang dipakai kerja (61 jam).
    3. Asumsi lain bahwa saya tidak menggunakan laptop dan ponsel ketika lagi quality time bareng keluarga, berarti ada 196 jam (84 jam + 112 jam) sebulan dimana saya ya gak kerja, ya gak juga ngumpul dengan keluarga, dan gak juga lagi tidur. Itu berarti sekitar 7 jam perhari! (196 jam / 28 hari)
    4. Sekarang ditotalin semuanya, berarti ada 257 jam (145 jam + 112 jam) sebulan yang terpakai diluar quality time bareng keluarga, atau sekitar 9 jam lebih dikit perharinya (257 jam / 28 hari). Hasil ini kurang lebih sama dan cenderung lebih banyak dibandingkan dengan waktu yang dihabiskan teman-teman yang bekerja fulltime sebagai tenaga kerja kantoran (8 jam)!

    Sebagai programmer yang sudah biasa liat data, saya percaya bahwa data gak bohong, dan berdasarkan data-data dan hasil kalkulasi diatas, bisa disimpulkan saya gak produktif seperti yang saya bayangkan 🙁

    Tentu saja ini hasil yang mengecewakan karena salah satu alasan utama menjadi freelancer yang bisa bekerja secara remote dan jam kerja yang fleksibel adalah untuk bisa menghabiskan waktu lebih banyak bersama keluarga, atau mengerjakan apapun selain “kerja”. Namun ternyata hasil dari evaluasi ini berkata sebaliknya.

    Belum cukup sampai disitu, saya mencoba melihat lebih detail kemana sih jam-jam itu terpakai, ini salah satu keuntungan sistem auto tracking dari Rescue Time.

    Summary:

    So yeah, hanya 25% yang dipakai kerja, selebihnya dipakai buat entertainment, news dan social media. fiuh.

    Hmm, jadi ini adalah daftar 10 aplikasi dimana saya menghabiskan waktu paling banyak.

    1. 30% Entertainment ternyata dihabiskan untuk game (Top Eleven, SimCity, dll) dan juga iFlix.
    2. 11% News adalah reddit.com!
    3. 10% Social media tentu saja kombinasi instagram, facebook dan lainnya

    3 dari 5 aplikasi yang paling banyak menghabiskan waktu adalah Top Eleven, iFlix dan juga SimCity, ini berarti fix: saya kebanyakan main hape!

    Selain itu saya juga gak sadar ternyata aksi “cuma ngintip bentar doang” di Reddit dan Facebook memakan waktu yang lumayan juga.

    Berikut rincian berdasarkan perangkat yang digunakan: (sayangnya saya gak ketemu gimana cara melihat keseluruhan list selain top 10)

    Jadi begitulah hasil evaluasi saya, ternyata saya gak se-produktif yang saya kira. Untungnya dengan data ini, saya jadi tahu apa saja yang membuat saya gak produktif, menghabiskan banyak waktu, sehingga punya landasan untuk memperbaiki diri.

    Data ini juga memberikan informasi bahwa goal saya tahun ini untuk mengurangi jam kerja sesungguhnya salah arah, bukan jam kerja yang menghalangi saya untuk melakukan hal lain diluar kerjaan, tapi efektifitas menggunakan waktu, terutama waktu kerja.

    Kamu gimana? sudah mulai menghitung jam yang kamu habiskan tiap harinya?

    Download Rescue Time

  • Review Buku: Stop Thinking Like a Freelancer

    Review Buku: Stop Thinking Like a Freelancer

    Ini adalah review dari buku berjudul “Stop Thinking Like A freelancer” yang ditulis oleh Liam Veitch. Si Om Veitch ini adalah seorang freelance web designer yang tadinya bekerja secara freelance, kemudian jadi karyawan fulltime, kemudian balik jadi freelancer lagi. Berdasarkan pengalaman tersebut, menurut Veitch, kebanyakan freelancer hanya memandang pekerjaannya sebagai…

    selanjutnya

    Ini adalah review dari buku berjudul “Stop Thinking Like A freelancer” yang ditulis oleh Liam Veitch. Si Om Veitch ini adalah seorang freelance web designer yang tadinya bekerja secara freelance, kemudian jadi karyawan fulltime, kemudian balik jadi freelancer lagi. Berdasarkan pengalaman tersebut, menurut Veitch, kebanyakan freelancer hanya memandang pekerjaannya sebagai “hobi” yang dibayar, bukan sebagai bisnis yang berjalan layaknya sebuah perusahaan. Oleh karena itu, freelancer mesti berevolusi, menaikkan level, agar tidak menghadapi masalah yang sudah sering dihadapi freelancer lainnya.

    Di dalam Buku ini Veitch menjelaskan 5 fase evolusi seorang freelancer untuk menjadi “freelancer yang lebih baik”. Saya merangkum 5 fase tersebut sebagai berikut:

    (lebih…)
  • Membuat plugin wordpress untuk mengirim notifikasi komentar

    Saya baru sadar bahwa ternyata WordPress tidak mengirimkan notifikasi ketika seseorang membalas komentar pada suatu artikel. Admin websitenya sih dapat email notifikasi bahwa ada komentar baru masuk, tapi si pemberi komentar sebelumnya bakal tidak tau kalau ada yang memberikan balasan atau respons pada komentarnya, walaupun yang memberikan balasan adalah si admin website.…

    selanjutnya

    Saya baru sadar bahwa ternyata WordPress tidak mengirimkan notifikasi ketika seseorang membalas komentar pada suatu artikel. Admin websitenya sih dapat email notifikasi bahwa ada komentar baru masuk, tapi si pemberi komentar sebelumnya bakal tidak tau kalau ada yang memberikan balasan atau respons pada komentarnya, walaupun yang memberikan balasan adalah si admin website.

    Jadi saya buat plugin sederhana yang punya tugas sangat sederhana,  mengecek kalau ada komentar baru masuk yang berupa balasan pada sebuah komentar, maka akan dikirim email notifikasi ke pemilik komentar sebelumnya.

    (lebih…)

  • Sibuk atau sok sibuk?

    Salah satu resolusi saya tahun ini adalah bekerja gak lebih dari 20 jam seminggu. Ide nya, dengan membatasi jam kerja tersebut, saya akan lebih fokus dan mengerjakan apa-apa yang memang worth buat dikerjakan. Idealnya, 20 seminggu itu bisa di capai dengan kerja maksimal 4 jam selama 5 hari, umumnya bakal…

    selanjutnya

    Salah satu resolusi saya tahun ini adalah bekerja gak lebih dari 20 jam seminggu. Ide nya, dengan membatasi jam kerja tersebut, saya akan lebih fokus dan mengerjakan apa-apa yang memang worth buat dikerjakan. Idealnya, 20 seminggu itu bisa di capai dengan kerja maksimal 4 jam selama 5 hari, umumnya bakal bekerja senin sampai jum’at dengan masing-masing selama 4 jam, dan libur di hari sabtu dan minggu. Nah, kali ini saya ingin me-review pencapaian saya tersebut dibulan Januari kemarin.

    Berdasarkan hasil time tracking menggunakan toggl, selama bulan Januari kemarin saya “bekerja” selama total 57 jam dan 11 menit. Kalau dibulatkan jadi 58 jam, lalu di bagi dengan 23 hari kerja selama bulan januari, maka rata-rata perhari saya bekerja selama 2.5 jam!. So secara goal, ini sudah tercapai nih, setidaknya untuk bulan januari. Berdasarkan data tersebut, ada kesimpulan yang saya pikir jadi catatan buat saya.

    Jam kerja saya sungguh sangat tidak beraturan 🙂

    Terlihat bahwa ada kalanya saya bekerja di sabtu minggu, bahkan di 12 hari pertama, saya bekerja tanpa libur, sebelum akhirnya mengistirhatkan diri dengan libur total selama 3 hari dan diikuti dengan beberapa hari jam kerja minimal.

    Saya memang memilih gak berlibur di hari sabtu atau minggu, saya lebih memilih berlibur di hari lain, alasannya karena ya kalau sabtu atau minggu, kebanyakan orang juga pada libur dan mau kemana-mana bakal penuh, di sisi lain ketika hari kerja, kemana-mana pada longgar, gak perlu ngantri 🙂

    Saya masih belum sempet ngerjain personal projek.

    58 jam dihabiskan untuk mengerjakan projek freelance untuk orang lain, saya masih tetap “freelancer” biasa, padahal salah satu alasan kenapa membatasi jam kerja adalah supaya bisa punya waktu mengerjakan projek pribadi, but turn out it’s not that simple.

    Jam kerja sudah minimal, tapi rasanya masih sibuk.

    Ini yang jadi misteri, saya merasa saya masih seperti biasa, masih merasa sibuk dan dikejar-kejar tugas, bahkan saya merasa quality time bareng keluarga juga gak bertambah, ya biasa aja.

    Jadi ya seperti itu, secara goal sudah tercapai, tapi dari sisi manfaat belum kerasa, saya merasa ada banyak jam yang terbuang bukan untuk pekerjaan, bukan untuk personal thing, bahkan juga bukan buat keluarga, it’s mean ada banyak jam yang hilang secara misterius dengan sia-sia. Masalahnya adalah, umumnya kita gak pernah sadar ketika membuang jam secara sia-sia, semuanya terasa baik-baik saja, sampai “lupa waktu”.

    Untuk mencari lebih jauh tentang jam-jam yang hilang misterius ini, saya menginstall Rescue Time, sebuah aplikasi auto time tracking yang bisa di install di laptop dan smartphone. Tidak seperti toggl yang hanya melakukan tracking ketika kita memang ingin di tracking, Rescue Time melakukan tracking secara otomatis, semua kegiatan akan di record. Sebenarnya saya tidak terlalu suka dengan sistem tracking otomatis, apalagi oleh pihak ke 3 seperti ini, but saya pikir ini worth buat dicoba.

    Sudah pernah coba nge-track jam kerja mu? cobain deh.

  • Halo, 2018

    Ah, minggu pertama di tahun 2018. Seperti tahun-tahun sebelumnya, saya telah membuat resolusi atau lebih tepatnya goal yang ingin saya capai di tahun ini. Membuat resolusi itu gampang men, masalahnya adalah pada kebanyakan kasus, resolusi hanya berakhir sebagai catatan awal tahun, setelah itu gak kedengaran gemanya hehe.

    selanjutnya

    Ah, minggu pertama di tahun 2018. Seperti tahun-tahun sebelumnya, saya telah membuat resolusi atau lebih tepatnya goal yang ingin saya capai di tahun ini. Membuat resolusi itu gampang men, masalahnya adalah pada kebanyakan kasus, resolusi hanya berakhir sebagai catatan awal tahun, setelah itu gak kedengaran gemanya hehe.

    (lebih…)

  • Mengevaluasi jam kerja menggunakan time tracking apps

    Kalau kamu adalah seorang freelancer, terutama hourly based freelancer, pasti sudah familiar dengan time tracking apps. Intinya time tracking apps adalah aplikasi yang digunakan untuk mencatat dan mengukur berapa banyak waktu yang kamu habiskan untuk melakukan suatu kegiatan. Nah, biasanya hourly based freelancer akan menggunakan time tracking apps untuk mencatat…

    selanjutnya

    Kalau kamu adalah seorang freelancer, terutama hourly based freelancer, pasti sudah familiar dengan time tracking apps. Intinya time tracking apps adalah aplikasi yang digunakan untuk mencatat dan mengukur berapa banyak waktu yang kamu habiskan untuk melakukan suatu kegiatan. Nah, biasanya hourly based freelancer akan menggunakan time tracking apps untuk mencatat berapa banyak hours yang mereka habiskan lalu mengkonversi nya menjadi invoice untuk dikirim ke klien mereka. Walaupun akrab dengan hourly based freelancer, sebenarnya time tracker bisa digunakan untuk keperluan lebih luas oleh semua orang.

    Saya pernah merasakan bekerja menggunakan time tracking apps, baik ketika masih jadi karyawan, ketika itu si kantor mengharuskan karyawannya untuk menginstal software yang berupa time tracking apps + screen recording, tujuannya jelas untuk mengukur performa karyawan (walaupun lebih terkesan seperti memata-matai karyawan, sigh), pernah juga ketika sudah fulltime freelancer karena saya sempat pikir hourly based project adalah sistem kerja yang paling fair untuk bekerja. Dari 2 pengalaman tersebut, saya merasakan bahwa sebenarnya time tracking apps bisa dipakai untuk keperluan lain, mengungkap seberapa efisien kita bekerja, dan menjadi benchmark bagaimana kita bekerja bahkan sampai mengurangi kemungkinan burn out.

    (lebih…)